Makassar (ANTARA News) - Kawasan perkotaan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim akibat populasi yang besar dan adanya konsentrasi penduduk miskin, kata Deputi Bappenas bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Dr Max H Pohan.

Beban kawasan perkotaan kian berat mengingat kota juga sebagai penghasil emisi gas rumah kaca, terutama yang bersumber dari penggunaan bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, industri dan rumah tangga, katanya saat berbicara dalam sarasehan Hari Habitat Dunia di Makassar, Sabtu.

Max Pohan mengatakan, pembangunan perkotaan sangat terkait dengan masalah urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang pesat.

Berdasarkan proyeksi tahun 2005-2025, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia akan meningkat dari 53 persen menjadi 67,5 persen. Pertumbuhan penduduk perkotaan yang pesat ini diikuti dengan perubahan iklim yang dapat menjadi ancaman dengan naiknya suhu rata-rata di Indonesia sekitar 0,8 derajat sampai 1 derajat pada 2020-2050 mendatang.

Rumah tangga di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi karbondioksida (CO2) yang bersumber dari penggunaan energi lebih dari 100 juta ton per tahun. Industri di Pulau Jawa juga memberikan kontribusi besar bagi emisi CO2, sekitar 24 juta ton per tahun.

Max Pohan mengingatkan bahwa sejumlah kota yang terletak di wilayah pesisir juga menghadapi ancaman kenaikan permukaan air laut. Sebagian kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya berpotensi sering dilanda banjir akibat naiknya permukaan air laut. Permukaan air laut di pesisir Jakarta rata-rata meningkat 0,57 cm per tahun sedangkan penurunan muka tanahnya sebesar 0,8 persen per tahun.

"Kondisi buruk yang menimpa kota-kota di pesisir itu bisa menghancurkan infrastruktur sosial maupun ekonomi di wilayah tersebut," ujarnya.

Namun yang paling menderita dari perubahan iklim di perkotaan, lanjut Max Pohan, adalah masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah akibat keterbatasan sumber daya dan kapasitas yang dimiliki dalam mengantisipasi dampak tersebut.

Menurut dia, untuk mengatasi berbagai masalah tersebut perlu dibuat mitigasi atau penanggulangan perubahan iklim di perkotaan. Misalnya dengan cara peningkatan efisiensi penggunaan energi di kawasan perkotaan, pemakaian energi alternatif serta pengembangan sistem transportasi massal dengan memakai sumber energi alternatif sehingga bisa secara bertahap mengurangi kenaikan jumlah kendaraan pribadi, katanya.

Max Pohan menilai bahwa adaptasi perubahan iklim dan mitigasi bencana dalam pembangunan perkotaan tersebut hendaknya sejalan dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 yang diarahkan untuk mengembangkan kota sebagai suatu kesatuan wilayah.

Sejalan dengan Max Pohan, pakar lingkungan Erna Witoelar mengatakan adanya konsentrasi penduduk di perkotaan memang menyebabkan tingginya emisi karbondioksida di perkotaan. Oleh karena itu, lanjut Erna, mitigasi perubahan iklim di perkotaan dapat fokus pada upaya menurunkan emisi gas rumah kaca.

"Upaya tersebut bisa dilakukan melalui efisiensi energi baik untuk industri, transportasi dan rumah tangga. selain itu, melalui pengelolaan sampah terpadu yang dapat dikonversi menjadi energi," katanya
(T.F004/Z002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011