Yogyakarta (ANTARA News) - Gencatan senjata secara sepihak yang dilakukan tentara Israel di jalur Gaza tidak akan serta merta menghentikan konflik dengan Palestina meskipun kondisi terakhir di wilayah itu mulai relatif aman. "Meskipun kondisi sudah mulai membaik dengan ditariknya pasukan Israel dari wilayah Palestina, kemungkinan untuk kembali terjadi perang juga tetap masih ada," kata Direktur Timur Tengah Departemen Luar Negeri (Deplu) Aidil Chandra Salim di Yogyakarta, Rabu. Kemungkinan terjadi perang kembali itu, menurut dia di sela seminar Gaza Pascaserangan Israel, disebabkan proses kesepakatan genjatan senjata itu diambil secara sepihak dan bukan atas kesepakatan bersama antarkedua negara yang bertikai. "Kondisi di jalur Gaza sekarang sudah berangsur membaik dengan diperbolehkannya para relawan, bantuan kemanusiaan, dokter, dan wartawan untuk masuk ke jalur Gaza," katanya. Meskipun demikian, serangan yang dilancarkan Israel selama 23 hari lalu terhadap Palestina di jalur Gaza telah menelan korban 1.500 korban jiwa meninggal dengan 400 korban di antaranya anak-anak, 5.300 orang luka-luka serta 25 ribu warga sipil terusir dari rumahnya. Ia mengatakan, konflik yang melanda Palestina-Israel dalam 50 tahun terakhir tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah di mana empat perang telah berlangsung pada 1948, 1956, 1967, dan 1973. "Terbukti dari perang tersebut merugikan Palestina dan secara dramatis telah menciutkan tanah Palestina menjadi hanya kurang dari 12 persen dari wilayah semula. Intinya, realita saat ini menunjukkan jalur perundingan lebih mungkin dilakukan," katanya. Menurut dia, upaya perundingan untuk menengahi konflik kedua negara yang sering bertikai itu sedang dilakukan pemerintah Indonesia. Namun, sikap Indonesia tetap menganggap tindakan agresi Israel terhadap Palestina merupakan tindakan yang tidak proporsional, dengan persenjataan yang tidak seimbang, sehingga menyebabkan korban yang jatuh di pihak sipil cukup besar. Pemerintah Indonesia akan terus mendorong langkah proses dialog dengan melibatkan semua pihak. Meskipun perundingan merupakan langkah penting untuk menuju proses damai, bangsa Palestina dapat memanfaatkan semaksimal mungkin dukungan internasional. Dukungan itu terutama dari dunia Arab, dunia Islam, dan dunia ketiga dalam mendukung perjuangan bersenjata serta diplomasi untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan nasionalnya. Ia mengatakan, Palestina sebaiknya juga meniru pengalaman perjuangan bangsa Indonesia yang berhasil mempertahankan kemerdekaan 64 tahun yang lampau. Perjuangan kemerdekaan RI saat itu memadukan upaya militer dengan diplomasi di mana TNI berfungsi sebagai lambang eksistensi RI secara fisik, sementara diplomasi digunakan sebagai instrumen peraih dan penegas pengakuan internasioal. "Penting bagi bangsa Palestina untuk mentransformasi sayap militernya dari yang saat ini cenderung bersifat milisi menjadi tentara konvensional, baik dalam organisasi, disipilin, hirarki maupun tanda-tanda kesatuan," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009