Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pengenaan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) penting untuk mengoptimalkan "asset recovery" atau pemulihan aset dari hasil tindak pidana korupsi.

"Pengenaan pasal TPPU penting untuk mengoptimalkan 'asset recovery' atas hasil korupsi lantaran KPK acapkali menemukan para koruptor menyamarkan atau menyembunyikan hartanya dari hasil kejahatan korupsinya," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan penyamaran itu mulai dari penempatan uang atau aset di sistem keuangan, menyamarkan atau menghilangkan jejak sumber uang dengan melalukan transaksi atau transfer yang kompleks maupun menggunakan uang untuk investasi kegiatan usaha atau bentuk kekayaan lainnya.

Baca juga: KPK dalami proses pemurnian komponen dasar emas oleh PT Antam

Ali menyampaikan dalam beberapa hari ini, KPK memanggil dan memeriksa para saksi dalam perkara TPPU di Pemerintah Kota Bekasi yang menjerat Wali Kota Bekasi nonaktif Rahmat Effendi (RE) sebagai tersangka.

"Para saksi hadir memenuhi panggilan untuk dimintai keterangannya oleh tim penyidik," ucap Ali.

KPK mencatat telah mengeluarkan 11 surat perintah penyidikan kasus TPPU sejak tiga tahun terakhir. Pada 2022, dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan Kabupaten Banjarnegara tahun 2017-2018 dan kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Pemerintah Kota Bekasi.

Sementara pada 2021, terkait proyek pembangunan Jalan Dalam Kota Namrole tahun 2015, kasus pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA), kasus seleksi jabatan di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Probolinggo tahun 2021.

Baca juga: KPK panggil kepala Disnaker Bekasi soal pencucian uang Rahmat Effendi

Selanjutnya penerimaan hadiah atau janji terkait pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan 2017 pada Direktorat Jenderal Pajak dan kasus pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara tahun 2021-2022.

Kemudian pada tahun 2020, terdapat kasus dugaan TPPU, yakni dalam pengembangan kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Roll-Royce P.L.C pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan gratifikasi terkait dengan jasa konsultasi bisnis asuransi dan reasuransi oil dan gas pada PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) tahun 2008-2012.

 Ali mengungkapkan dari hasil kajian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Tahun 2021 menyebutkan hasil identifikasi dan analisis faktor pembentuk risiko TPPU (ancaman, kerentanan, dan dampak TPPU) di Indonesia berdasarkan kategori jenis tindak pidana asal paling banyak adalah korupsi.

Baca juga: KPK minta konfirmasi Sekretaris Disnaker Kota Bekasi soal "glamping"

"Pentingnya penanganan TPPU ini mendorong KPK untuk mengangkatnya dalam isu prioritas yang dibahas dalam pertemuan Forum G20 Anti-Corruption Working Group (ACWG)," tuturnya.

Dalam forum yang berlangsung pada 28-31 Maret 2022 tersebut, KPK memaparkan berbagai macam praktik TPPU yang sering terjadi di antaranya keterlibatan para profesional hukum yang justru turut membantu koruptor menyembunyikan hasil kejahatan korupsinya.

Selain itu, kata dia, KPK menyampaikan capaian "asset recovery" dalam rapat dengar pendapat (RDP) di DPR RI pada Rabu (30/3).

Adapun hasil "asset recovery" dari penanganan tindak pidana korupsi selama tahun 2021 mencapai Rp419,9 miliar.

"Nilai pengembalian 'asset recovery' ini masuk ke dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP) melalui denda, uang pengganti, rampasan, penetapan status penggunaan, dan hibah," ucap Ali.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022