Semarang (ANTARA) - Pemerintah perlu segera menyikapi rencana penolakan terkait dengan surat keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang menetapkan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) guna mencegah masyarakat turun ke jalan menggelar unjuk rasa.

Apalagi, SK Menteri LHK Nomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tanggal 5 April 2022 tentang Penetapan KHDPK pada Sebagian Hutan Negara yang Berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten mengundang reaksi dari wakil rakyat di Komisi IV DPR.

Salah satu alasan komisi yang membidangi pertanian, kelautan, lingkungan hidup dan kehutanan ini berencana menolak SK Menteri LHK tersebut karena berpotensi menghilangkan kawasan hutan di Pulau Jawa. Bahkan, Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi (mantan bupati Purwakarta) khawatir keberadaan SK penetapan KHDPK akan berdampak pada hilangnya 1,1 juta Hektare lahan hutan di Pulau Jawa. (Sumber: ANTARA, 13 April 2022)

Masalahnya, persoalan hutan tidak fokus pada apa yang dihasilkan dan didapat negara. Lebih dari itu, Komisi IV DPR menitikberatkan persoalan hutan pada aspek konservasi. Aspek konservasi ini harus dipahami semua pihak. Dari hutan, banyak sumber daya air yang harus dipertahankan, kawasan penghasil oksigen. Kalau ada pengalihan pengelolaan, bisa jadi hutan jadi kawasan properti.

Sebelum SK penetapan KHDPK lahir, menurut dia, sudah banyak kawasan hutan yang telah berubah fungsi. Bahkan, banyak didapati kawasan hutan yang justru menjadi kawasan ekonomi. Kawasan sabuk hijau yang mengelilingi Gunung Tangkuban Perahu, misalnya, kini sudah mulai banyak beralih fungsi dari mulai pembangunan kawasan wisata hingga rencana pembangunan kampus.

Jika terus terjadi alih fungsi yang masif, akan terjadi banjir besar yang menghantam kawasan kaki gunung. Di sisi lain, apabila SK penetapan KHDPK tersebut tetap berlaku, tidak sekadar alih fungsi lahan yang terjadi, tetapi juga alih kepemilikan.

Nasib Karyawan
Belum lagi, nasib karyawan Perhutani. Tidak pelak lagi, mereka merasa keberatan dengan keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menetapkan KHDPK pada sebagian hutan negara pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Pulau Jawa dan Pulau Madura. Mereka pun bermaksud menolak pemberlakuannya.

Rencana penolakan itu merupakan salah satu kesimpulan yang mengemuka dalam Rapat Kerja Dewan Pengurus Wilayah Serikat Karyawan (DPW Sekar) Perhutani Jawa Tengah di Semarang, Selasa (12/4) malam.

Alasan utama penolakan itu, antara lain, menyangkut kekhawatiran tentang kelangsungan kelestarian kawasan hutan di Pulau Jawa serta menyangkut kelangsungan pekerjaan sebagai penopang hidup para karyawan sendiri.

Suasana raker yang berlangsung dinamis dan nyaris memanas oleh adu argumen antarpeserta dalam menentukan pilihan sikapnya itu kemudian dapat menyusun sejumlah rekomendasi kepada Dewan Pengurus Pusat (DPP) Sekar Perhutani agar mau bersikap.

Pertama, DPW Sekar Perhutani Jawa Tengah menilai SK Menteri LHK Nomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tanggal 5 April 2022 tentang Penetapan KHDPK pada Sebagian Hutan Negara yang Berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten cacat demi hukum.

Kedua, DPW meminta DPP Sekar Perhutani segera melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, maksimal 90 hari setelah penerbitan SK 287.

Ketiga, sambil menunggu proses gugatan hukum, pelaksanaan SK 287 melalui proses masa transisi karena menyangkut SDM dan aset perusahaan. Hal ini agar disampaikan DPP Sekar Perhutani saat beraudiensi dengan DPR, Kementerian BUMN, dan Kementerian LHK.

Keempat, DPP Sekar Perhutani segera mengagendakan penyampaian pendapat umum di Jakarta paling lambat pada Mei 2022.

Demikian butir-butir permintaan sikap dari DPW Sekar Perhutani Jawa Tengah kepada DPP Sekar Perhutani dalam acara Rapat Kerja DPW Sekar Perhutani Jawa Tengah yang diketuai Ahmad Arief Subarna.

Isi SK KHDPK
Pada Selasa, 5 April 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan SK Nomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022. Kawasan hutan yang dimaksud dalam SK itu adalah seluas 1.103.941 Hektare yang terdiri atas seluas 202.988 Hektare di Provinsi Jawa Tengah, yang masing-masing berupa kawasan hutan produksi seluas 136.239 Hektare dan kawasan hutan lindung seluas 66.749 Hektare.

Di Provinsi Jawa Barat seluas 338.944 Hektare yang terdiri atas seluas 163.427 Hektare berupa kawasan hutan produksi dan seluas 175.517 Hektare kawasan hutan lindung.

Selanjutnya penetapan KHDPK di Provinsi Banten seluas 59.978 Hektare yang berada di kawasan hutan produksi seluas 52.239 Hektare dan di kawasan hutan lindung seluas 7.740 Hektare.

Sementara itu, di Provinsi Jawa Timur penetapan KHDPK seluas 502.023 Hektare, yakni berupa kawasan hutan produksi seluas 286.744 Hektare dan kawasan hutan lindung seluas 215.288 Hektare.

Disebutkan pula seluruh kawasan hutan di sejumlah provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Madura yang ditetapkan SK tersebut sebagai KHDPK saat ini berada dalam sistem pengelolaan Perum Perhutani selaku BUMN.

Dengan demikian, fungsi SK tersebut adalah untuk meminta lagi kawasan hutan negara dari tangan pengelolanya saat ini yang nota bene perusahaan negara.

Situasi itu, menurut Ketua DPW Sekar Perhutani Jawa Tengah Ahmad Arief Subarna, sangat potensial untuk menimbulkan beragam implikasi, salah satu yang terdampak langsung dan seketika tentu saja nasib ribuan karyawan Perhutani.

Saat ini terdapat sekitar 18.000 karyawan Perhutani yang bekerja di kawasan hutan negara seluas 2,4 juta Hektare. Mereka kini sedang dihadapkan dengan kemungkinan masa depan yang sangat gelap, baik bagi diri sendiri maupun kelangsungan hidup keluarganya, berpotensi suram.

Apabila seluas 1,1 Hektare kemudian diminta lagi oleh pihak Kementerian LHK, akan ada ribuan karyawan, khususnya di tingkat mandor dan mantri hutan yang akan kehilangan lahan tempatnya bekerja.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK perlu berpikir ulang dengan menyusun mitigasi secara cermat agar meminimalkan tingkat risiko, baik bagi karyawan Perhutani maupun aspek konservasi sumber daya alam.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2022