Semarang (ANTARA) - Peluang mengamendemen kembali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia atau perubahan kelima UUD NRI Tahun 1945 dalam Sidang Tahunan MPR RI tidaklah menyalahi konstitusi.

Perubahan Undang-Undang Dasar ini sudah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 37 ayat (1) sampai ayat (4) sebagai berikut:

Ayat (1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

Ayat (2) Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

Ayat (3) Untuk mengubah pasal-pasal UUD, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.

Ayat (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

Tidak pelak lagi apabila ada sejumlah komponen masyarakat yang khawatir terjadi lagi perubahan UUD NRI Tahun 1945 hanya untuk melanggengkan kekuasaan dengan menambah masa jabatan tiga periode atau memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Sebagai bukti, sejumlah komponen masyarakat tetap melakukan unjuk rasa pada tanggal 11 April 2022. Mereka menolak perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden dan penambahan periode dari dua menjadi tiga periode.

Padahal, berulang kali Presiden Joko Widodo menegaskan taat konstitusi. Bahkan, Presiden menyebutkan pemilu mendatang pada tanggal 14 Februari 2024. Demo pun tetap berlangsung.

Kekhawatiran sejumlah komponen masyarakat terkait isu perpanjangan masa jabatan atau tiga periode adalah sesuatu hal yang wajar, meski dalam konstitusi sudah tegas menyatakan bahwa pemilu digelar setiap lima tahun sekali.

Ada yang berpikiran dalam waktu relatif singkat sangat memungkinkan melakukan perubahan ke-5 UUD NRI 1945. Hal ini mengingat partai politik pendukung pemerintahan sekarang ini menguasai parlemen.

Dari hasil Pemilu 2019 yang telah menempatkan sembilan parpol di 575 kursi DPR RI, mayoritas pemilik kursi-kursi itu adalah partai pendukung Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.

Hasil Pemilu Anggota DPR RI 2019, PDI Perjuangan meraih 128 kursi, Partai Golkar (85 kursi), Partai Gerindra (78 kursi), Partai NasDem (59 kursi), PKB (58 kursi), PAN (44 kursi), dan PPP (19 kursi). Sementara itu, Partai Demokrat meraih 54 kursi dan PKS (50 kursi).

Jika melihat peta di DPR RI, peluang untuk mengubah konstitusi bukan hal yang tidak mungkin meski Pemilu 2024, berdasarkan kesepakatan Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu, digelar pada 14 Februari 2024; bahkan KPU siap memulai tahapan pada 14 Juni 2022.

Namun, tidak semua partai pendukung pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin menerima wacana tersebut. Berdasarkan hasil analisis Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC yang diketuai Dr. Pratama Persadha disebutkan bahwa PDI Perjuangan menolak.

Bahkan, Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) menemukan kejanggalan ketika melacak big data yang memuat 110 juta warganet pendukung penundaan Pemilu 2024 dengan menggunakan open source intelligence (OSINT) akun media sosial Twitter.

Komposisi Isu
Komposisi isu keseluruhan online news dan Twitter menyebutkan berita tentang "Pemilu ditunda dengan alasan ekonomi negara belum stabil" sebanyak 26,41 persen.

Berikutnya, isu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan disebut sosok di balik penundaan pemilu sebanyak 16,80 persen.

Isu penundaan pemilu disebut coreng konstitusi sebanyak 11,60 persen; PAN mendukung usulan untuk menunda Pemilu 2024 (8,69 persen); PDI Perjuangan menolak usulan untuk menunda Pemilu 2024 (8,49 persen); dan Partai Demokrat menolak usulan untuk menunda Pemilu 2024 (8,39 persen).

Terkait isu "PKB mendukung usulan untuk menunda Pemilu 2024" sekitar 8,20 persen. Isu lainnya, seperti Partai Golkar dan Partai NasDem bertemu bahas konflik menunda Pemilu 2024 sekitar 2,61 persen.

Sejumlah kalangan pun meragukan big data yang memuat 110 juta warganet pendukung penundaan Pemilu 2024, termasuk pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha.

Lagi pula, yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan tiga periode di kisaran 117.746 (tweet, reply, dan retweet), sementara pemberitaan daring (online) tercatat 11.868 pengguna pada periode analisis mulai 15 Februari hingga 15 Maret 2022.

Disebutkan pula data yang kontra dengan penundaan pemilu di Twitter sebesar 83,60 persen dan pro sebanyak 16,40 persen. Sementara itu, pada media daring dengan kontra sebesar 76,90 persen dan pro 23,10 persen.

Dari data ini saja, sudah terlihat jelas lebih banyak yang menolak penundaan pemilu. Data tersebut diambil dan dianalisis setelah pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan dengan sejumlah tokoh dan organisasi yang pro dan kontra.

Disebutkan pula bahwa tokoh kontra penundaan pemilu yang paling banyak terdapat pada artikel berita, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (Ketua Umum DPP Partai Demokrat) sebanyak 1.420, disusul Surya Paloh (Ketua Umum Partai NasDem) sebanyak 555.

Sementara itu, tokoh pro penundaan pemilu yang terbanyak adalah Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) sebanyak 3.892 artikel berita, diikuti Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN). Ada juga 10 organisasi yang pro dengan penundaan pemilu, seperti PKB, Golkar, dan Kemenkomarves.

Adapun, yang kontra sebanyak 71 organisasi, yaitu PPP, PDI Perjuangan, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Partai Demokrat, Muhammadiyah, dan lainnya.

Berbeda bila 110 juta data itu mengambil pembicaraan dari Facebook (FB), Instagram, dan TikTok yang jumlah pemakainya relatif sangat banyak. Pemakai FB di Indonesia, berdasarkan data CISSReC, lebih dari 130 juta, Instagram sudah hampir menembus 100 juta pemakai, belum lagi TikTok yang pemakainya bertambah dengan cepat di Indonesia.

Namun, tidak semuanya membicarakan penundaan pemilu; banyak yang tidak peduli. Lebih banyak membicarakan hal yang lain, demikian analisis CISSReC.

Oleh karena itu, asal usul data tersebut harus jelas sumber pengambilannya. Bahkan, untuk mengambil data tersebut dengan survei juga hal yang sangat sulit, bahkan mustahil meskipun secara daring. Hal ini, kata Pratama, karena harus sesuai dengan usia, apalagi mencapai angka 110 juta warganet.

Mengumpulkan dan membaca data FB, IG, dan WhatsApp (WA) tidak semudah di Twitter yang membuka API (application programming interface). Perlu persetujuan FB untuk pihak ketiga membaca data dan mengumpulkannya.

Cambridge Analytica, misalnya, ketika membaca kecenderungan pilihan warga Inggris menjelang Brexit​​​​​​ (Britain Exit), dan pilihan warga Amerika Serikat menjelang Pilpres 2016.

Namun, pada akhirnya setelah ini bocor menjadi kasus besar, berujung pada makin ketatnya perlindungan data pribadi di Eropa dengan Regulasi Umum Perlindungan Data (General Data Protection Regulation/GDPR).

Oleh karena itu, seyogianya perlu menyampaikan kepada publik sumber data 110 juta warganet pendukung penundaan Pemilu 2024 itu agar semua pihak tahu, termasuk mereka yang ahli di bidang teknologi informasi.

Jangan sampai memunculkan tuduhan dari sejumlah orang bahwa data itu masuk kategori hoaks yang menyesatkan masyarakat hingga menimbulkan kegaduhan.

Baca juga: CISSReC lacak big data pendukung penundaan Pemilu 2024 melalui medsos

Copyright © ANTARA 2022