"Banyak pengusaha tidak tahu perjanjian ini dan tidak tahu bagaimana mengurus SKA,"
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Perdagangan Internasional Rina Oktaviani menilai pengusaha nasional kurang memanfaatkan tarif khusus (preferensi tarif) perdagangan antar negara ASEAN, sehingga manfaatnya bagi kawasan ini belum optimal.

"Pangsa nilai (barang yang menggunakan) SKA (surat keterangan asal) hanya sekitar 41,3 persen dari ekspor non migas nasional ke kawasan ASEAN pada Januari-Mei 2011," ujar Rina dalam forum grup diskusi tentang implementasi pasar bebas ASEAN (AFTA) 2015 yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, di Jakarta, Kamis.

Dengan demikian, kata guru besar bidang perdagangan internasional dari IPB itu, pemanfaatan AFTA masih sangat rendah, terutama bila dibandingkan dengan pemanfaatan perdagangan bebas ASEAN dengan Korea (AKFTA) yang mencapai 56,8 persen.

Menurut Rina, banyak faktor yang menyebabkan masih rendahnya pemanfaatan tarif khusus AFTA oleh pengusaha di Indonesia. "Banyak pengusaha tidak tahu perjanjian ini dan tidak tahu bagaimana mengurus SKA," katanya.

Selain itu, lanjut Rina yang juga anggota Tim Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan di Kementerian Perdagangan, birokrasi di Indonesia juga lamban mengirim notifikasi pergantian pejabat, sehingga tanda tangan pejabat baru pada SKA tidak diterima di negara tujuan ekspor.

"Jadi keluhan terhadap hambatan teknis tersebut juga sering terjadi. Ada juga agen (impor) tidak tahu ada perjanjian itu," katanya.

Akibatnya ekspor barang dari Indonesia ke negara anggota ASEAN tidak menggunakan tarif khusus.

Padahal, menurut Rina, perdagangan Indonesia ke negara-negara ASEAN terus tumbuh.

Sejak 2006 sampai April 2011 tren pertumbuhan rata-rata perdagangan Indonesia ke ASEAN mencapai 17,68 persen.

Selain itu, perdagangan Indonesia dengan negara di ASEAN juga mengalami surplus meskipun menurun dibandingkan tahun 2006-2007 yang mencapai 7,5 miliar dan 8,6 miliar dolar AS.

Pada 2009 dan 2010 surplus perdagangan non-migas Indonesia ke ASEAN masing-masing sebesar 2,6 miliar dolar AS dan 3,3 miliar dolar AS.

"Indonesia cukup diuntungkan dengan perdagangan intra-ASEAN," ujar Rina.

Namun, diakuinya juga, Thailand dan Singapura lebih mendapat manfaat lebih besar dari integrasi pasar ASEAN tersebut, dibandingkan Indonesia.

Ia juga mengatakan dalam integrasi pasar ASEAN, Indonesia juga harus bersaing ketat dengan sesama negara anggota lainnya dalam menarik investasi untuk menjadi bagian dari proses produksi perusahaan multinasional.

Ditambahkan Kepala Pusat Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan dari Kementerian Perdagangan, Kasan Muhri, pada Januari-September 2011 ekspor non-migas Indonesia ke ASEAN berkontribusi sekitar 21 persen dari total ekspor nasional ke seluruh dunia.

Ia mengakui pemerintah bergerak lebih cepat dibandingkan dunia usaha dalam proses AFTA. "Memang butuh komunikasi lebih baik lagi dengan dunia usaha tentang implementasi AFTA ini," ujarnya.

Namun, menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, komunikasi sudah tidak terlalu diperlukan lagi.

"Pemerintah sudah harus melakukan aksi peningkatan daya saing, membangun infrastruktur, jalan, pelabuhan, dan penyediaan listrik yang banyak," katanya.

Sedangkan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Raja Sapta Oktahari meminta pemerintah melakukan inkubasi kepada pengusaha muda dan pengusaha baru untuk mempersiapkan diri menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN 2015.
(R016)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011