Jakarta (ANTARA) - Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebutkan bahwa inflasi Indonesia saat ini masih relatif baik dibandingkan negara lain terutama negara-negara G20.

“Indonesia kalau kita bandingkan ini memang relatif baik-baik saja,” katanya dalam acara CORE Quarterly Review 2022 di Jakarta, Selasa.

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat inflasi pada Maret sebesar 0,66 persen (mtm) dan sepanjang Januari sampai Maret sebesar 1,2 persen serta 2,64 persen (yoy).

Piter menuturkan inflasi Indonesia memang mulai merangkak naik dari tahun lalu seiring mulai normalnya mobilitas masyarakat sehingga permintaan naik.

Bahkan CORE Indonesia memprediksi inflasi pada April 2022 akan berada di atas 1 persen dengan keseluruhan tahun di sekitar 2,5 persen sampai 5,5 persen.

Prediksi CORE yang melebihi target pemerintah sebesar 3,0±1 persen ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor seperti penerapan PPN 11 persen dan kenaikan harga Pertamax.

Terlebih lagi, potensi inflasi di atas 5,5 persen akan terjadi jika pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga LPG tiga kilogram menjadi Rp20.000 dan harga Pertalite menjadi Rp9.000.

Di sisi lain, tingkat inflasi Indonesia ini masih jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara maju seperti Uni Eropa yang kini menghadapi ancaman kenaikan inflasi akibat krisis energi sebagai dampak konflik Rusia dan Ukraina.

Tingkat inflasi UE pada Februari 2022 bahkan mencapai 5,9 persen (yoy) dengan penyumbang tingginya inflasi adalah harga energi yang meningkat dari 28,8 persen pada Januari menjadi 32 persen pada Februari.

Tak hanya itu, inflasi di AS mencapai 7,9 persen yang merupakan tertinggi selama 40 tahun dan Turki 61 persen yang merupakan hyper inflation.

Penyebab inflasi ini selain karena konflik Rusia dan Ukraina adalah adanya kenaikan permintaan atau demand yang tidak dibarengi dengan ketersediaan dari sisi supply.

Meski demikian, Piter menegaskan potensi kenaikan inflasi di Indonesia harus segera direspon oleh Bank Indonesia terutama dengan menaikkan suku bunga acuan.

Melonjaknya inflasi akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi karena menggerus daya beli masyarakat bawah sehingga BI dan pemerintah harus segera mencegahnya.

“Inflasi ini sangat penting kalau kita bicara kebijakan moneter. Inflasi yang tinggi harus direspon oleh BI. Jadi kondisi di global dan inflasi harus menjadi perhatian BI,” tegas Piter.

Sebagai informasi, BI dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 18-19 April 2022 memutuskan untuk kembali mempertahankan suku bunga acuan alias BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DDR) di level 3,5 persen.

Baca juga: Pemerintah tetap optimalkan TPIN jaga inflasi meski ekspor surplus

Baca juga: BI tegaskan ekstra hati-hati pertimbangkan kebijakan stabilitas harga

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022