Yerusalem (ANTARA News) - Kabinet Israel menyetujui pemberlakuan sejumlah sanksi terhadap Pemerintah Palestina, setelah Partai Hamas mengumumkan Ismail Haniya (Haniyeh) menjadi calon perdana menteri, kata sejumlah pejabat Israel, Minggu (19/2) waktu setempat. Dengan sanksi-sanksi itu, Israel akan berhenti memberikan hasil pajak yang dikumpulkannya atas nama Palestina, yang bernilai sekitar 50 juta dolar Amerika Serikat (AS) sebulan, dan melarang penduduk Tepi Barat dan Jalur Gaza menyeberang ke Israel untuk bekerja. Perdana Menteri (PM) Sementara Ehud Olmert --yang menggantikan tugas PM Israel, Ariel Sharon, lantaran sakit syaraf parah-- mengajukan sederetan sanksi untuk memperoleh persetujuan kabinet setelah mengumumkan bahwa pemerintah Palestina yang dipimpin Hamas, partai pemenang pemilihan umum 25 Januari 2005, akan dianggap sebagai sebuah "rejim teroris". Parlemen baru yang didominasi Hamas dilantik Sabtu (18/2), sementara itu Presiden Palestina, Mahmud Abbas, dijadwalkan mengadakan perundingan di Gaza pada Minggu malam untuk meminta Hamas membentuk pemerintah baru. "Jelas bahwa dengan mayoritas Hamas di PLC (parlemen Palestina) dan instruksi untuk membentuk pemerintah baru yang diberikan kepada pemimpin Hamas, maka mereka pada praktiknya menjadi sebuah pemerintah teroris. Negara Israel tidak akan menyetujui hal ini," kata Olmert di rapat kabinet. "Seperti yang kita kemukakan, segera setelah pemilihan umum PA, setelah pembentukan pemerintah sementara, Israel akan segera menghentikan penyerahan dana kepada PA," katanya. Keputusan itu dikecam oleh jurubicara Abbas dan Hamas, yang menyatakan bahwa Israel sedang berusaha menyabotase hasil pemilihan umum Palestina. "Keputusan yang dibuat hari ini dirancang untuk membuat rakyat Palestina tunduk dan menghentikan keinginan mereka dengan menjegal pilihan demokratis mereka," kata Ismail Haniya, yang dicalonkan Hamas sebagai perdana menteri, kepada wartawan. "Keputusan ini tidak akan mengintimidasi kami dan pemerintah yang akan datang. Kami telah menangani semua tantangan di masa silam dan kami akan menangani tantangan-tantangan baru ini," katanya. Juru bicara Hamas, Nabil Abu Rudeina, juga mengatakan bahwa keputusan itu akan mengganggu upaya untuk membujuk kelompok-kelompok garis keras untuk menghentikan serangan dan menambahkan, hal itu masih terlalu dini, karena pemerintah Palestina belum terbentuk. (*) (Foto: Ismail Haniyeh)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006