Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengharapkan pasar tidak bereaksi berlebihan terhadap pernyataan salah satu pejabat Bank Indonesia (BI) tentang sinyalemen akan dihapuskannya sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk jangka waktu tiga bulan. "Sampai hari ini tidak ada perubahan, jadi pasar mungkin tidak perlu bereaksi berlebihan terhadap pernyataan tersebut," kata Menkeu di Jakarta, Senin. Sebelumnya, Direktur Perencanaan Strategis dan Humas BI, Budi Mulia di Jakarta, Jumat (17/2) mengatakan BI dalam waktu dekat akan menghapus instrumen moneter Sertifikat Bank Indonesia (SBI) jangka waktu tiga bulan yang dianggap mengaburkan arah kebijakan moneter bank sentral. Menkeu mengatakan tidak tahu apakah pernyataan itu adalah pernyataan pribadi atau insitusi BI. "Untuk para pejabat yang sering membuat pernyataan tentu juga perlu mengkonsolidasikan, sehingga pernyataannya tidak menimbulkan spekulasi yang tidak terlalu rawan terhadap rancangan-rancangan yang belum dipastikan," katanya. Ia juga mengatakan bahwa pihaknya akan membicarakan dengan BI, tentang instrumen-instrumen yang dibutuhkan dalam kebijakan fiskal dan moneter. "Untuk pengubahan SBI tiga bulan dan keinginan dalam jangka panjang untuk menghapuskan instrumen moneter dari BI serta mengubah menjadi SPN (Surat Perbendaharaan Negara) itu memang sudah menjadi salah satu agenda bersama," katanya. Hanya di dalam realisasinya, lanjutnya, masih ada baik dari kualitas instrumen, peraturan perundangan maupun kapasitas institusi yang harus dibicarakan. Ia menjelaskan nantinya beban untuk manajemen utang jangka pendek dari sisi likuiditas akan beralih ke Departemen Keuangan. "Kita sedang membangun kapasitas itu dan akan berbicara dengan BI bagaimana secara bertahap operasi moneter yang ditanggung BI tidak berlebihan, tetapi sesuai dengan apa yang harus mereka laksanakan," katanya. Sinkronisasi kebijakan Sementara itu , Dirjen Perbendaharaan Depkeu Mulya Nasution mengemukakan Depkeu memang akan membahas dengan BI tentang bagaimana melakukan sinkronisasi kebijakan fiskal sepaya bisa menghasilkan "output" yang baik. "Harus dicari jalan keluar yang baik bagi kedua pihak," katanya. Ia menambahkan hubungan Depkeu dan BI sangat banyak seperti dalam hal penerimaan uang pemerintah yang ada di BI dan pelaksanaan pengeluaran melalui bank-bank umum. Saat ditanya tentang kemungkinan penerbitan surat perbendaharaan negara (SPN) sebagai pegganti SBI tiga bulan, Mulya mengatakan apapun solusinya harus tergantung pada ketentuan perundangan yang jelas. "Di dalam UU Perbendaharaan Negara memang telah disebutkan adanya penggantian SBI dengan SPN, tetapi kapan dan obligasi pemerintah yang mana, harus dibahas bersama-sama," katanya. Ia menambahkan SPN adalah instrumen surat utang jangka pendek yang `re-financing risk` atau resiko pembiayaan kembali. "Kalau SPN diterbitkan dengan nilai Rp10 triliun pada bulan-bulan ke depan berarti jatuh temponya adalah 2007, apalagi kalau berjangka waktu enam bulan, itu akan semakin membebani," katanya. Untuk kepentingan ekspansi BI, kata Mulya, dengan rencana penghapusan SBI tiga bulan, maka BI diperkirakan akan membeli dalam jumlah besar surat-surat utang pemerintah yang berjangka lama baru kemudian dilepas ke pasar. Ia juga mengatakan pihaknya akan membicarakan dengan BI mengenai besaran bunga yang harus dibayar pemerintah kepada BI terkait dengan bantuan BLBI yang besarnya sekitar Rp200 triliun. "Surat utang yang tidak bisa diperdagangkan, yaitu SU 002 dan 004, yang total nilainya Rp200 triliun. Karena bunganya mengacu pada SBI, maka itu yang akan kita bicarakan," katanya. Selama ini, lanjut Mulya, memang pemerintah belum membayar bunga utang tersebut. "Justru itu yang perlu dibicarakan, kan tidak mungkin kalau tidak dibayar terus-menerus, tetapi tidak mungkin juga kalau meggunakan inflasi untuk menentukan besar bunga," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006