... Yang cukup menolong adalah kekerabatan kental di antara mereka walau sejak 11 tahun lalu kekerabatan itu disekat oleh perbatasan negara....
Atambua, NTT (ANTARA News) - Walau bernama pasar tradisional,  pada faktanya saat dioperasikan nanti aktivitas perdagangannya bersifat antarnegara.

Satu sumber mengisahkan, nama itu "terinspirasi" dari lapak-lapak pedagang tradisional yang sesaat setelah (bekas) Provinsi Timor Timur menjadi negara, yang terdapat di jalan-jalan sekitar Mota Ain.

Kini nama itu pasar tradisional itu diadopsi menjadi semacam "kawasan berikat" perdagangan kedua negara. Bicara tentang hal ini, informasi terakhir menyatakan, sekitar 70 persen keperluan sehari-hari warga di negara Timor Timur itu dipenuhi dari Indonesia melalui Kupang-Mota Ain-Batugade.

Jadi, pasar di sana sangat penting, apalagi negara Timor Timur sudah membangun kompleks pasar serupa yang lebih megah dan terkonsep rapi. Lebih menarik lagi, mercado (pasar dalam bahasa Portugis) itu dilengkapi dengan sarana hiburan berizin. Jelas ini menjadikan kawasan perbatasan negara di sisi mereka itu lebih atraktif bagi investor. Dan, mereka memang membuka diri seluas-luasnya bagi investasi luar negeri dari negara mana saja.

Di mana ada kumpulan orang, biasanya ada bisnis terjadi walau masih kecil-kecilan. Di Mota Ain juga begitu. Ada puluhan porter (tukang angkut) yang siap membantu mengangkuti barang-barang pelintas batas negara dengan ongkos yang sangat fleksibel. Boleh dalam bentuk dolar Amerika Serikat atau rupiah.

Uang dolar Amerika Serikat yang lusuh atau sedikit robek masih laku di sini karena uang-uang itu bisa langsung ditukar kepada money changer berjalan, yang keberadaannya sangat khas.

Mereka biasanya berjalan sana-sini dengan segepok uang dolar Amerika Serikat atau rupiah dan sibuk menanyai siapa saja yang mereka ketahui akan melintas. "Tukar dolar, Boss …? Change money, Sir…?" Begitu kira-kira pertanyaan yang selalu diajukan mereka. Jika ingin yang resmi, ada Kantor Kas Bank Mandiri yang titik berat pelayanannya di Mota Ain dalam hal penukaran dan pengiriman uang di sana.

Kembali ke Desa Wehas itu, hiruk-pikuk keuntungan perdagangan di Mota Ain tidak mereka rasakan sama-sekali. Tetap saja mereka memasak memakai kayu bakar, bersekolah dengan berjalan kaki hingga 4 kilometer dari rumah beralas tanah dan atap daun lontar tanpa listrik, memikul satu atau dua ember air bersih dari mata air sampai berkilo-kilometer, melahirkan anak mengandalkan pijat urut dukun beranak tradisional, dan lain-lain.

Lambang-lambang kemiskinan absolut sangat mudah ditemui dan melekat dalam diri mereka. Secara asasi, manusia hidup bertujuan untuk kehidupan yang lebih baik dari masa lalu dan kini. Namun, selama generasi demi generasi, kualitas hidup di sana hanya sedikit mengalami kemajuan. Yang cukup menolong adalah kekerabatan kental di antara mereka walau sejak 11 tahun lalu kekerabatan itu disekat oleh perbatasan negara.

"Saya dulu beberapa datang ke rumah saudara saya di sebelah lewat jalan tikus. Saudara saya juga biasa datang pakai jalan itu, jangan sampai tertangkap patroli. Bagaimana lagi, kami bersaudara satu nenek moyang …," kata Alberto da Souza, penduduk di Dewa Wehas. Cuma sekitar 500 meter dari rumahnya itu ada pos pengamanan dari instansi kepolisian setempat.

Ungkapan  da Souza mewakili warga lain di sana. Siang hari mereka istirahat dari kerja di ladang tadah hujan bercocok tanam jagung tanpa sentuhan teknologi pengolahan lahan. Dalam dunia pertanian, cara pengolahan lahan secara subsisten merupakan istilah yang paling pas untuk menggambarkan cara mereka bercocok tanam.

Kaki yang kecokelatan karena ada tempelan tanah dan rambut kemerahan akibat terpaan sinar matahari dan kulit hitam tembaga tidak menghalangi dia untuk memberi senyum dari bibir penuh sirih pinang. Gigi dan bibirnya kemerahan karena sirih pinang itu sering menyungging senyum.

Lelaki yang wajahnya lebih tua dari usia sebenarnya itu hidup dalam status kemiskinan. Namun, dia memiliki kekayaan dalam bentuk lain, yaitu keramahannya. Bukan cuma dia yang menyambut, pun gonggongan anjing selalu terdengar. Anjing-anjing kampung memang mereka pelihara sebagai penjaga rumah. Walau anjing-anjing kampung itu gesit, banyak yang seperti rangka berjalan karena terlalu kurus.

Dia tidak bisa menyuguhkan air kepada tamu yang datang dari Pulau Jawa ini. Dia dan istrinya, Anna, baru sampai dari ladang dan dia perlu waktu cukup lama berjalan ke mata air terdekat di kampungnya, untuk ... menyuguhkan air minum. (Tamat)                  

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2011