Jakarta (ANTARA News) - Indonesia menghormati kemenangan Hamas sebagai bagian dari pemilihan umum yang adil dan demokratis di Palestina. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Yuri O Thamrin kepada wartawan di Jakarta, Jumat, saat ditanya mengenai sikap Indonesia terhadap kemenangan Hamas pada pemilihan umum Palestina pada akhir Januari 2005. "Sebagai negara yang demokratis, maka kita harus menghormati kemenangan Hamas atas pemilihan umum yang adil," kata Yuri. Dengan menghormati kemenangan Hamas, maka Indonesia juga menghormati kesempatan Hamas untuk menyelenggarakan pemerintahan. Yuri juga mengatakan Indonesia merasa tidak perlu mengambil kesimpulan yang tergesa-gesa terkait dengan kekhawatiran sejumlah negara terhadap sepak terjang Hamas dalam memimpin Palestina di masa datang. "Kita tidak boleh mengambil kesimpulan yang tergesa-gesa," katanya. Menurut dia, berdasarkan pengalaman, suatu organisasi yang bersifat keras ketika berkuasa dalam pemerintahan biasanya akan bermetamorfosa. "Dan saya yakin sebagai hasil dari pemilihan umum yang jujur dan adil, maka Hamas merupakan wujud dari keinginan rakyat, sehingga tentu saja akan memperhatikan keinginan atau suara rakyat Palestina, yaitu perdamaian," ujarnya. Seruan Iran Sementara itu, Menteri Luar Negeri Iran, Manouchehr Mottaki seusai bertemu dengan Menlu Hassan Wirajuda, Kamis (23/2), mengimbau negara-negara Muslim di dunia agar menghormati hasil pemilihan umum Palestina dengan mendukung Hamas untuk menyelenggarakan pemerintahan. "Sesungguhnya kami percaya bahwa semua negara di dunia, tidak harus negara Muslim, dapat menghormati hasil pemilu itu dan adalah menjadi hak Hamas untuk menyelenggarakan pemerintahannya," kata Manouchehr Mottaki. Dia berharap agar negara-negara Islam di dunia dapat melakukan pendekatan secara kolektif terhadap permasalahan tersebut untuk menunjukkan dukungan terhadap Hamas. "Bagaimana pun sebagai negara Muslim, kita hendaknya mendukung saudara kita sesama Muslim," katanya. Menurut dia, tidak ada alasan untuk tidak menghormati Hamas sebagai pemenang pemilu dan menunjukkan dukungan serta mengurangi berbagai tekanan kepada rakyat Palestina. Oleh karena itu, Manouchehr Mottaki mengimbau agar sejumlah negara yang sebelumnya telah memberikan dukungan dana terhadap Palestina dapat terus melanjutkan kerjasama tersebut. Dalam Pemilu di Palestina, Hamas merebut 76 dari 132 kursi, sementara partai berkuasa Fatah memperoleh 43 kursi, seperti pengumuman Ketua Komisi Pemilihan Umum Pusat, Hanna Nasser, Kamis (26/1). Nasser mengatakan Partai Perubahan dan Reformasi Hamas menang 30 kursi di tingkat nasional dan 46 kursi lagi di wilayah-wilayah pemilihan mereka. Separuh dari kursi parlemen dipilih di tingkat wilayah pemilihan, sementara sisanya yang 66 untuk partai-partai yang bersaing, Fatah memperoleh 27 kursi di tingkat nasional dan hanya 16 kursi di tingkat wilayah pemilihan. Partai berhaluan kiri Front Rakyat bagi Pembebasan Palestina (PFLP) memperoleh tiga kursi, sementara partai kiri lain, Al-Badil, memperoleh dua kursi. Partai Palestina Independen, yang dipimpin oleh calon dalam pemilihan Presiden, Mustapha Barghuti, memperoleh dua kursi. Dua kursi direbut oleh Koalisi Independen Jalan Ketiga yang calon-calon utamanya adalah Menteri Keuangan Salam Fayad dan mantan perunding utama perdamaian Palestina, Hanan Ashrawi. Empat calon independen lain menang di daerah-daerah pemilihan, kata Nasser. Di antara tokoh-tokoh tingkat tinggi Fatah yang kalah adalah Jibril Rajub, Penasihat Keamanan Nasional Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dan mantan Menteri Penerangan Nabil Amr. Fatah sudah mengakui kekalahan mereka dari Hamas, dan Perdana Menteri Ahmed Qorei mengajukan pengunduran dirinya kepada Abbas setelah kekalahan tersebut. Penolakan Arab Sementara itu, sebagaimana dilansir dari AFP, upaya Menteri Luar Negeri AS, Condoleezza Rice menghadapi penolakan baru Arab untuk mengucilkan Hamas pada tahap kedua kunjungannya di Timur Tengah dengan tujuan menekan gerakan Palestina itu untuk mencela kekerasan. Timpalannya dari Arab Saudi, Pangeran Saud Al-Faisal, memperingatkan Riyadh akan terus mendukung Pemerintah Otonomi Palestina secara finansial, bahkan setelah Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) menang dalam Pemilu di wilayah tersebut. Sebelumnya, Washington telah meminta Pemerintah Otonomi Palestina mengembalikan 50 juta dolar AS dalam bentuk bantuan untuk proyek prasarana, karena khawatir dana itu akan jatuh ke tangan Hamas -- yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS dan Eropa. Sebelum tiba di Arab Saudi, Rice mengadakan pembicaraan di Kairo dengan Presiden Mesir Hosni Mubarak dengan pusat perhatian setelah kemenangan Hamas dalam pemilihan anggota parlemen Palestina bulan lalu. Selama taklimat bersama dengan Menteri Luar Negeri Mesir, Ahmed Abul Gheit, Selasa, Rice mengulangi pendirian keras pemerintahnya -- yang memasukkan Hamas dalam daftar organisasi teroris. Namun Mesir telah menyatakan Washington harus menghormati hasil pemilihan demokratis di Palestina dan tak boleh tergesa-gesa memboikot pemerintahan pimpinan Hamas. "Kita mesti memberi waktu kepada Hamas," kata Abul Gheit. "Saya yakin Hamas akan berkembang, akan berubah. Kita tak boleh berprasangka mengenai masalah itu," kata Abul Gheit. (*)

Copyright © ANTARA 2006