Tokyo (ANTARA) - Nissan Motor Co memperkirakan laba operasinya datar tahun fiskal ini, jauh di bawah ekspektasi para analis, karena produsen mobil terbesar ketiga Jepang itu bergulat dengan kekurangan chip global, kenaikan biaya material, dan pembatasan akibat COVID China.

Nissan bergabung dengan semakin banyak perusahaan global yang memperingatkan tentang memburuknya profitabilitas karena mereka tidak dapat sepenuhnya meneruskan melonjaknya biaya input kepada konsumen dan bersiap untuk lebih banyak penangguhan rantai pasokan setelah konflik Ukraina dan penguncian COVID yang berkepanjangan di China.

Pesaingnya yang lebih besar, Toyota Motor mengatakan pada Rabu (11/5/2022) bahwa kenaikan biaya bahan baku yang "belum pernah terjadi sebelumnya" dapat memotong seperlima dari laba setahun penuh.

Baca juga: Toyota peringatkan laba tahunan jatuh 20 persen karena kenaikan biaya

Nissan memperkirakan penjualan meningkat 18,7 persen pada tahun keuangan saat ini menjadi 10 triliun yen (77,6 miliar dolar AS). Tetapi laba operasional akan tumbuh hanya 1,0 persen menjadi 250 miliar yen, di bawah perkiraan rata-rata 318,5 miliar yen dari 19 analis yang disurvei oleh Refinitiv.

"Kekurangan semikonduktor adalah normal baru, sama seperti pandemi, dan kita harus menghadapinya karena ini tidak akan selesai besok pagi," kata Chief Operating Officer (COO) Nissan Ashwani Gupta saat telekonferensi hasil keuangan periode pelaporan.

Nissan mengatakan pihaknya memperkirakan biaya bahan baku dan logistik meningkat sekitar 1,5 kali menjadi 212 miliar yen (1,65 miliar dolar AS) pada tahun fiskal yang dimulai pada April, dengan lebih dari setengahnya disebabkan oleh baja dan aluminium. Perusahaan juga memproyeksikan tambahan 45 miliar yen dalam kenaikan biaya logistik untuk tahun berjalan.

Perusahaan akan menanggapi kenaikan harga dengan melakukan lindung nilai dan memesan di muka bahan baku, kata Kepala Keuangan Stephen Ma.

Baca juga: Nissan akan investasikan lebih dari Rp10 triliun di Meksiko


Renault

CEO Nissan Makoto Uchida mengatakan pembuat mobil Jepang mendukung rencana mitra aliansinya Renault untuk memisahkan bisnis kendaraan listrik (EV), tetapi diskusi lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah langkah seperti itu akan memperkuat aliansi mereka.

Pembuat mobil Prancis itu mengatakan pada April semua opsi sedang dipertimbangkan untuk memisahkan bisnis EV-nya, termasuk kemungkinan pencatatan publik, karena berusaha mengejar saingan seperti Tesla dan Volkswagen.

Namun langkah tersebut telah menimbulkan spekulasi bahwa Renault mungkin mempertimbangkan untuk menurunkan sahamnya di Nissan.

Renault memiliki 43,4 persen saham Nissan, yang pada gilirannya memiliki 15 persen saham tanpa hak suara di perusahaan Prancis, dan struktur kemitraan mereka telah lama menjadi sumber gesekan di Jepang.

Aliansi pembuat mobil yang berusia dua dekade, yang mencakup Mitsubishi Motors, diguncang oleh penggulingan pendiri aliansi pada 2018 Carlos Ghosn di tengah skandal keuangan. Sejak itu mereka berjanji untuk mengumpulkan lebih banyak sumber daya dan bekerja lebih erat untuk membuat mobil listrik.

Nissan membukukan keuntungan operasional 56 miliar yen pada kuartal keempat, dibantu oleh pemotongan biaya dan penurunan yen, dibandingkan kerugian 19 miliar yen pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Hasilnya lebih baik dari perkiraan laba rata-rata 38,3 miliar yen dari delapan analis yang disurvei oleh Refinitiv.

Nissan mengatakan sebelumnya kekurangan semikonduktor dunia menyebabkan produksi globalnya turun untuk tahun bisnis keempat berturut-turut, dengan penurunan terbaru menjadi penurunan 11 persen tahun ke tahun.

Saham Nissan ditutup naik 1,0 persen sebelum laporan hasil keuangan, mengungguli penurunan 1,8 persen di pasar yang lebih luas. (1 dolar AS = 128,6700 yen).

Baca juga: Renault, Nissan, Mitsubishi kuatkan aliansi sambut era EV

 

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022