Rasanya kita belum cukup kapabel dan kompeten mengoptimalkan anugerah kekayaan tersebut demi kemakmuran bangsa.
Jakarta (ANTARA News) - Beraneka julukan telah disematkan, antara lain "gemah ripah loh jinawi", "jamrut khatulistiwa", yang sejatinya ungkapan kekaguman dan pemujaan kemelimpahan kekayaan yang terhampar di bumi pertiwi.  

Para pedagang dan saudagar Arab, India, dan Tiongkok banyak yang mengadu peruntungan sejak berabad silam.  Bangsa petualang Eropa, seperti Belanda, Inggris, Portugis, telah berabad-abad, lalu juga memutar roda bisnisnya di persada Nusantara ini.

Pada era modernitas, negeri nyiur melambai ini bak bidadari molek nan aduhai yang terus dikerlingi oleh praktisi bisnis global. Sebut saja, RIM meluncurkan produk Bellagio teranyarnya di Indonesia. Pasalnya, anak bangsa ini menjadi konsumen terbesarnya. Betapa kalangan menengah ke atas rela antre berdesakan demi menuai diskon 50% produk gres tersebut.
 
Lion Air menyepakati akan membeli 230 pesawat Boeing 737, bernilai 21,7 miliar dolar AS, yang menjadi order terbesar dalam sejarah Boeing, sehingga Barrack Obama merasa perlu menyaksikan nota kesepahaman pembelian tersebut di Bali ketika KTT ASEAN silam.  

Siapa yang tak ngiler melihat potensi pasar negeri kita berpenduduk 259 juta jiwa. Luasnya negeri ini sangat mencengangkan, sekiranya panjang hamparan Nusantara dari Sabang sampai Merauke ditumpangtindihkan (overlay) dengan peta Eropa, maka panjangnya setara dengan jarak dari London ke Moskow.  Sepanjang dan seluas itulah tersimpan potensi sumber daya alam, dan potensi pasar lucrative (menguntungkan) lainnya yang menantang.

Sebutlah Freeport perusahaan tambang terbesar di dunia yang dapat menggali potensi tambang di Crasberg Papua sebesar 13,3 juta pon tembaga, 20,8 juta ons emas, 13,1 juta ons perak (website Freeport).  Cadangan batu bara 105 miliar ton (website ESDM) tersebar di seantero Nusantara.  

Potensi panas bumi 26 ribu megawatt juga cukup besar, menanti dimanfaatkan. Demikian pula halnya sektor migas yang telah sejak dahulu menjadi andalan pengeruk devisa.

Kekayaan sumber daya hayati juga tak terkira kuantitasnya. Hamparan laut yang 2/3 dari luasan bumi Nusantara merumahi beraneka jenis potensi perikanan laut. Ditambah lagi dengan 200 mil ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) pada laut terluar yang juga dapat dieksploitasi. Kekayaan yang luar biasa itu, baru sebatas disenandungkan dan dipuja-puji.

Rasanya kita belum cukup kapabel dan kompeten mengoptimalkan anugerah kekayaan tersebut demi kemakmuran bangsa. Dibutuhkan insan-insan yang berkarakter outlier (pencilan) dengan intuisi dan talenta bisnis cemerlang yang dapat menjamah dan mengeksploitasinya.  

Kita butuh enterpreuner tangguh, seperti Rusdi Kirana yang sukses mengepakkan Lion Air dalam waktu relatif singkat. Perjalanan Lion Air (1999) berawal dari biro perjalanan Lion Tours, lalu penerbangan domestik, yang dikelola oleh kakak-beradik Kusnan dan Rusdi Kirana bermodal awal 10 juta dolar AS.

Chairul Tanjung, yang masuk 1.000 orang terkaya di dunia versi Majalah Forbes, yang merintis bisnis sejak bangku kuliah, baru saja mentransformasi kerajaan bisnisnya menjadi CT Corp, pantas ditiru keuletannya.

Susi Pudjiastuti, Srikandi eksportir ikan dari Pangandaran, dari seorang bakul ikan bermodal Rp100 ribu pada tahun 1983, kini bermetamorfose menjadi eksportir ikan beromzet sekitar Rp50 miliar/tahun, juga sangat patut diteladani jibaku bisnisnya.

Impor Produk Pertanian

Keikutsertaan dalam AFTA (1 Januari 2010) disinyalir merugikan bangsa ini karena produk kita belum kompetitif. Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) berupa penurunan tarif hingga 0–5 % dan penghapusan pembatasan tarif dan nontarif.  

Pada tahun 2015 semua negara ASEAN harus mengenyahkan segenap bea masuk impor. Belakangan ini kita tak hanya digelontori produk manufaktur, juga produk pertanian impor.  Mulai dari beras, hortikultura (kentang, wortel, dsb), bahkan bumbu masak, seperti jahe, cabai, bawang, juga membanjiri tak hanya supermarket, bahkan pasar tradisional.

Petani telah direpotkan oleh semakin menyempitnya lahan, yang beralih fungsi menjadi permukiman. Pada beberapa daerah, lahan pertanian dikonversi menjadi perkebunan karena produk perkebunan dianggap lebih bernilai ekonomis ketimbang hortikultura. Langkah demikian menjauh dari prorakyat!

Ketergantungan pada musim hujan bagi sebagian besar komoditas pertanian, pupuk palsu, monsoon tak menentu, minimnya dan rusaknya prasarana pertanian, seperti irigasi, ikut andil merendahkan produktivitas pertanian.

Ironisnya, manakala petani masih bergelut dengan ikhwal proses produksi dan manajemen pemasaran, alih-alih bukannya pemerintah all out mengatasi kendala ini, justru membuka ladang impor produk pertanian, sebagai panasea (penawar) sesaat dan instant terhadap permasalahan pangan.

Kondisi demikianlah yang ditenggarai dapat menelangsakan petani.  Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, cepat tanggap membela kepentingan petani.  Ketika Brebes yang populer sebagai pemasok 35% bawang nasional, digelontori 3.360 ton bawang merah impor, Bibit langsung meradang.

"Impor komoditas pertanian memang menjadi kebijakan Kementerian Pertanian, tapi kami juga minta pemerintah pusat memahami kondisi di lapangan termasuk petani bawang merah. Jangan sampai petani merugi akibat masuknya bawang impor yang harganya lebih murah," pungkasnya (Kompas.com,  4 Maret 2011).

Impor Ikan

Minggu lalu kita terperanggah lagi dengan rencana impor ikan dengan dalih penyelamatan industri pengolahan ikan yang kekurangan bahan baku. Katanya, industri pengolahan ikan yang berada di Jawa dan Sumatra hanya beroperasi 30-35 % dari kapasitasnya.  

Potensi bahan baku ikan berada di Indonesia timur sehingga diperlukan biaya transportasi yang melangit.  Bukannya membenahi tata niaga transportasi, malah akan membuka keran impor?

Impor Ikan Salmon yang tak ada di Indonesia, bisa dimahfumi. Namun, realitasnya menurut laporan media massa, di Medan tiap hari puluhan ton ikan impor, seperti tongkol, selayar, dan kembung, dari Malaysia melangsak pasar tradisional, tak ayal merugikan para nelayan.

Impor Ikan Patin dari Vietnam dan Thailand mencapai hampir 100.000 ton per tahun.  Padahal dengan pembinaan yang baik, daerah seperti Kalsel, Riau, dan Jambi, dapat menjadi andalan pemasok Patin.  

Produksi Patin di Kabupaten Banjar (Kalsel) dilaporkan 11.842 ton (2010). Besarnya produksi tersebut merupakan buah dari kawasan minapolitan yang telah dibina dan dikembangkan dengan saksama.

Selama kurun waktu 2007-2009 kenaikan rerata (rata-rata) produksi Patin selalu >50% per tahun. Karena itulah produksi Patin diprediksi bisa mencapai 1,883 juta ton pada tahun 2014. Produksi tersebut digunakan untuk memasok pasar domestik, tak menutup kemungkinan bisa diekspor, kelak!

Dengan kebijakan dan tekad memihak petani, maka peluang kita akan digilas globalisasi dan liberasasi perdagangan, yang berpotensi memiskinkan serta memarginalkan petani dan nelayan, akan dapat dianulir.

Namun, rupanya pemerintah saat ini cenderung menerapkan jalan pintas, singkat, dan praktis.
Negara adidaya USA saja telah sejak dahulu mengutamakan pembinaan petaninya. Abraham Lincoln menciptakan Homestead Act (1862). Aturan ini berupa landreform yang membagikan tanah negara kepada petani seluas 65 ha/unit sehingga areal pertanian (1997) mencapai 190 hektare/petani (Pakpahan, 2004).
   
Oleh karena itu, menjadi petani dimungkinkan bermuara kemakmuran dengan lahan garapan yang luas.  Tidak seperti di negara kita, banyak petani subsisten serta buruh tani yang tak punya lahan garapan, dan bergelut dengan kemiskinan permanen!

*Pengarang Buku "Senarai Bijak Terhadap Alam"

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2011