Jakarta (ANTARA News) - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) sepanjang 2011 dinilai mencatatkan kinerja kurang memuaskan jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatatkan kenaikan sebesar 46,13 persen.

Kinerja IHSG pada 2011 cenderung diselimuti oleh sentimen negatif dari eksternal. Namun, apabila dibandingkan dengan indeks utama bursa-bursa lain di dunia, IHSG masih lebih baik.

Pertumbuhan IHSG itu tidak terlepas dari akumulasi perjuangan insan pasar modal dalam negeri, serta fundamental ekonomi Indonesia yang masih tumbuh positif.

Pada awal perdagangan saham BEI Januari (3/1) 2011, IHSG berada di level 3.727,52. Seperti bursa saham-saham lainnya, indeks BEI juga mengalami fluktuasi.

Sepanjang tahun ini, IHSG berhasil mencatatkan poin tertinggi pada awal Agustus ke posisi 4.193,44 poin. IHSG juga mengalami poin terendah di posisi 3.269,45 pada tanggal 4 Oktober 2011.

Kuatnya sentimen negatif eksternal selama 2011 membuat kinerja IHSG cenderung berada dalam area "bearish" (pelemahan). Pada 6 Januari merupakan awal pelemahan IHSG di semester pertama 2011. Sepanjang Januari, IHSG sempat kembali ke posisi 3.346,06 poin atau anjlok 13,06 persen dibanding posisi tertinggi di posisi 3.783,71 pada bulan yang sama.

Kalangan pelaku pasar menilai, tertekannya IHSG dipicu oleh "bubble" (pengelembungan) dana asing yang masuk ke dalam negeri selama 2010. Hal itu terlihat dari kinerja IHSG BEI sepanjang 2010 yang mencatat kenaikan signifikan sebesar 46,13 persen, atau terbaik di bursa saham kawasan Asia.

Kinerja IHSG itu tidak lepas dari peran pelaku pasar asing yang dananya masuk ke dalam negeri. Data Bapepam-LK menunjukkan, pada 2010 nilai bersih transaksi saham yang dilakukan investor asing (net inflow of foreign capital) sepanjang 2010 mencapai Rp26,74 triliun. Nilai itu meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp13,78 triliun.

Meski demikian, pendapat kalangan analis bahwa pasar modal mengalami "bubble" dan imbasnya dirasakan pada semester pertama 2011 dibantah oleh Direktur Utama BEI, Ito Warsito. Dikatakannya, keluarnya dana asing pada awal tahun itu bukan dikarenakan terjadinya "bubble".

"Kalau `bubble`, dana asing yang masuk tidak diikuti oleh pertumbuhan ekonomi suatu negara, Indonesia kan pertumbuhannya sesuai dengan ekspektasi," jelas Ito.

Sepanjang semester pertama 2011, IHSG cenderung dalam tekanan. Selain kabar "bubble" dana asing di pasar modal, sentimen di negara-negara kawasan Timur Tengah, yakni krisis politik Mesir dan Libya serta gempa yang melanda Jepang, juga menjadi katalis tertahannya penguatan indeks BEI.

Kondisi itu, menambah berita buruk bagi investor yang kemudian mengamankan portofolio sahamnya dengan melakukan aksi jual. Kekhawatiran juga terlihat dari pasar berjangka minyak yang merespon kondisi di Timur Tengah dengan kenaikan harga.

"Kepanikan pasar terhadap krisis politik negara Arab serta penurunan ekonomi Jepang dan spekulasi terjadinya arus balik modal ke Jepang mengakibatkan tekanan jual di pasar saham Asia termasuk di bursa saham Indonesia," kata Managing Research Indosurya Asset Management, Reza Priyambada.

Selain itu, lanjut dia, kabar tentang krisis Yunani dan AS juga menambah sentimen bagi pasar saham global sejak awal Mei 2011 hingga saat ini.

Namun, kata Reza, seiring dengan musim publikasi laporan keuangan kuartalan emiten tercatat di BEI yang mayoritas cukup positif serta kondisi ekonomi global yang kembali kondusif, IHSG kembali bangkit dari keterpurukan.

Pada kuartal III 2011, IHSG mencatatkan rekor tertinggi dalam sejarah pada posisi 4.193 poin pada 1 Agustus 2011. Meroketnya kinerja IHSG saat itu dipicu oleh tercapainya kesepakatan untuk penyelamatan Yunani melalui dana talangan (bailout) sebesar 10 miliar euro.

Namun, lembaga pemeringkat Standard & Poor`s (S&P) yang kemudian memangkas peringkat utang (rating) Amerika Serikat (AS) sebanyak dua tingkat dari sebelumnya AAA (triple A) menjadi AA+ (double A plus) pada 5 Agustus 2011 memicu pasar saham kembali ke dalam area "bearish".

Reza mengemukakan, berawal dari situlah bursa saham global termasuk bursa Indonesia seakan kehilangan tenaganya untuk terus melaju ke atas. Rata-rata kinerja bursa saham Asia turun lebih dari lima persen dalam sepekan, termasuk IHSG yang ikut terhempas ke level 3.700 poin.

"Belum selesai sentimen negatif dari AS, kepanikan investor kembali memuncak setelah Yunani dikabarkan berpotensi gagal bayar (default). Krisis yang terjadi di Yunani sejak 2010 itu ternyata belum benar-benar selesai. Muncul juga spekulasi krisis itu berdampak domino sehingga menjalar ke negara sekitar seperti Portugal, Spanyol, Italia, Irlandia serta Prancis," ucap dia.

Dengan rentetan kabar buruk itu, IHSG anjlok hingga mencapai titik terendah di level 3.269,45 pada 4 Oktober 2011 atau merosot 22 persen dari titik tertinggi pada awal Agustus 2011.

Kendati demikian, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, Eddy Sugito saat workshop pasar modal pekan lalu mengatakan, meski periode Januari-Desember IHSG tercatat hanya tumbuh dua persen, namun masih lebih baik dibandingkan dengan negara lain.

"Jika dibandingkan bursa negara lain, bursa kita masih lebih baik, kinerja IHSG tergerus oleh sentimen negatif eksternal yang cukup kuat sehingga menahan penguatan IHSG. Namun, kinerja bursa suatu negara ada yang minus sampai 11 persen, kita hanya sedikit dari bursa-bursa di dunia yang positif kinerjanya," ujar dia.


Agenda 2011

Sepanjang 2011 industri pasar modal Indonesia juga mengalami beberapa agenda seperti posisi Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) ditinggalkan oleh A Fuad Rahmany, yang mendapat tugas baru sebagai Direktur Jenderal Pajak.

Jabatan nomor satu wasit pasar modal itu akhirnya diisi oleh Nurhaida setelah dilantik oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, pada 16 Februari 2011. Sebelumnya Nurhaida baru diangkat sebagai Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal Kementerian Keuangan.

Beberapa hari sebelumnya perusahaan penerbangan pelat merah Garuda Indonesia mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham GIAA.

Namun sayang, pencatatan perdana saham Garuda di BEI mengalami pelemahan. Harga saham Garuda yang berkode GIAA pada pembukaan perdagangan perdana dibuka turun 50 poin ke posisi Rp700 dari harga penetapan sebesar Rp750.

"Kondisi itu, patut dijadikan pelajaran bahwa tidak semua saham perdana pasti naik, meskipun BUMN atau yang sahamnya dinilai baik," kata Direktur Perdagangan dan Pengawasan Anggota Bursa, Wan Wei Yiong saat pencatatan saham Garuda di Jakarta, Jumat (11/2).

Lalu, BEI juga meluncurkan Indeks Saham Syariah Indonesia (Indonesia Sharia Stock Index/ISSI), serta pengesahan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengenai fatwa No. 80 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek.

Direktur Pengembangan BEI, Friderica Widyasari Dewi mengatakan, dengan diluncurkannya indeks Syariah diharapkan dapat menjadi indikator utama yang dapat menggambarkan kinerja seluruh saham syariah yang tercatat di BEI.

"Indeks Syariah ditujukan untuk menghilangkan kesalahpahaman masyarakat yang menganggap bahwa saham syariah hanya terdiri dari 30 saham yang masuk dalam Jakarta Islamic Index (JII). Selain itu, diharapkan masyarakat juga tidak ragu lagi berinvestasi di pasar modal, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah investor domestik di Pasar Modal Indonesia," ujar dia.

Ia mengharapkan, dengan diresmikannya indeks syariah itu, dapat menghilangkan perkiraan masyarakat mengenai investasi di saham merupakan "judi", selain itu akan mendorong penambahan jumlah investor di pasar modal.

"Transaksi di pasar saham bukan merupakan `judi` seperti yang diperkirakan sebelumnya, dengan ISSI investor dapat mengetahui saham-saham yang kinerjanya secara syariah," kata Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI, KH Ma`ruf Amin menambahkan.


Pasar Modal Mampu Tahan Krisis

Ketua Badan Pengawas Pasar Modal, Nurhaida mengatakan, industri pasar modal dalam negeri dinilai mampu menahan imbas sentimen negatif dari krisis global saat ini.

"Di pasar modal, kalau kita lihat mungkin tidak terimbas sama sekali. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih positif dibandingkan negara lain meski tidak secemerlang tahun lalu, positifnya IHSG dikarenakan ekonomi Indonesia masih tumbuh, kalau ekonomi turun kemungkinan indeks tidak positif, hal itu tidak lepas dari peran makro ekonomi kita yang masih bagus," ujarnya.

Ia mengemukakan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III/2011 tumbuh 3,5 persen dibanding kuartal sebelumnya pada tahun yang sama atau mencapai 6,5 persen secara "year on year".

"PDB kita cukup bagus, inflasi juga menurun dibanding 2010. Hal ini tidak lepas dari peran ekonomi dalam negeri yang cukup stabil, PDB 6,1 persen pada 2010, di 2011 6,5 persen, pasar modal tidak terlepas dari ekonomi secara keseluruhan," ucap dia.

Ia menambahkan, jika dilihat dari sisi emiten dalam negeri, juga masih mencatatkan kinerja yang positif sepanjang 2011 meski dibayangi oleh krisis global.

"Kinerja laporan keuangan emiten tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) cukup bagus rata-rata mencatatkan kenaikan 30 persen, dari sisi emiten pasar modal masih bisa diandalkan," kata dia

Ke depan, menurut Nurhaida, negara-negara maju yang pertumbuhannya melambat atau bahkan negatif akan mendorong dana-dana investasi mencari lokasi lain untuk ditempatkan.

"Negara lain tidak positif, tentu dana itu akan mencari tempat untuk ditempatkan. Negara Asia masih positif, tentu datang ke Asia, dan Indonesia di kawasan ASEAN (Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara) masih menjadi tujuan investasi," katanya.

Mengutip pepatah asing, "Rome was not built in one day". Begitu halnya dengan kekuatan pasar modal Indonesia yang tidak dibangun dalam satu hari. Pencapaian kinerja industri pasar modal Indonesia saat ini masih lebih baik dibanding bursa saham global lainnya yang merupakan akumulasi perjuangan insan pasar modal dalam negeri sebelumnya hingga saat ini. (ZMF/B012)

Oleh Catatan akhir tahun oleh Zubi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011