Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan arus kas operasional PT Pertamina mengalami defisit sebesar 2,44 miliar dolar AS pada Maret 2022 karena kenaikan harga minyak mentah (ICP) yang signifikan.

"Pertamina harus menanggung perbedaan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (HJE BBM) dan harga keekonomian sejak Januari," ungkap Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jakarta, Kamis.

Maka dari itu, Pertamina membutuhkan dukungan pemerintah untuk menanggung selisih yang ada dari lonjakan harga minyak dunia.

Walaupun selisih HJE dan harga keekonomian meningkat tajam, pemerintah berkomitmen untuk menjaga pasokan BBM serta satu harga BBM dan LPG yang terjangkau masyarakat.

Baca juga: Sri Mulyani usulkan tambahan subsidi energi Rp74,9 triliun di 2022

Maka dari itu, Sri Mulyani menuturkan pemerintah akan menambah subsidi dan kompensasi energi pada tahun 2022 sebesar Rp291 triliun menjadi Rp443,6 triliun.

Dari alokasi tersebut, subsidi BBM dan LPG ditetapkan sebesar Rp149,4 triliun atau naik Rp71,8 triliun dari Rp77,5 triliun, sedangkan kompensasi BBM senilai Rp213,2 triliun atau meningkat Rp194,7 triliun dari Rp18,5 triliun.

"Jika tidak ada tambahan penerimaan dari pemerintah, maka pada Desember 2022 arus kas operasional Pertamina akan defisit 12,98 miliar dolar AS," jelasnya.

Menurut dia, seluruh rasio keuangan Pertamina mengalami pemburukan yang signifikan sejak awal 2022.

Hal tersebut berpotensi menurunkan peringkat utang atau credit rating Pertamina dan pada akhirnya akan berdampak pada credit rating pemerintah.

Baca juga: Sri Mulyani sebut akan ada kenaikan tarif listrik 3.000 VA

Baca juga: Menkeu: Beban subsidi dan kompensasi capai Rp443,6 triliun pada 2022

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022