Jakarta (ANTARA News) - Pemimpin Korea Utara (Korut), Kim Jong-Il, meninggal Sabtu (17/12) pada usia 69 tahun, sehingga membawa negara bersenjata nuklir itu ke dalam situasi dan kondisi ketidakpastian.

Kim akan dimakamkan di Pyongyang pada Kamis (29/12) setelah menderita stroke pada Agustus 2008 yang meninggalkan gangguan gerakan di lengan dan kaki kiri.

Rakyat Korut diserukan untuk mengikuti putra bungsu Kim dan ahli warisnya, Kim Jong-Un, yang kini berusia akhir 20-an.

Kabar kematian Kim Jong-Il tersebar ke segala penjuru dunia dan mengundang tanggapan, antara lain dari pejabat Amerika Serikat (AS), Jepang dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta pakar hubungan internasional di Indonesia.

Menyusul kematian pemimpin Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara) itu, Presiden AS Barack Obama mengadakan pembicaraan per telepon dengan Presiden Korea Selatan (Korsel), Lee Myung-bak , kata Gedung Putih dalam satu pernyataan.

Obama menegaskan kembali komitmen AS bagi stabilitas Semenanjung Korea dan keamanan Korsel, katanya.

Pemerintah Jepang pada Senin menyampaikan belasungkawa atas kematian pemimpin Korut itu.

"Kami menyatakan belasungkawa kami setelah menerima pengumuman tiba-tiba atas meninggalnya Kim Jong-Il, ketua Komite Pertahanan Nasional Korea Utara," kata juru bicara pemerintah Jepang, Osamu Fujimura.

Pemerintah Jepang berharap bahwa perkembangan yang tak terduga itu tidak akan berdampak negatif terhadap perdamaian dan stabilitas Semenanjung Korea, katanya.

Jepang yang berada di kawasan Asia Timur dengan Korsel dan Republik Rakyat China (RRC) sebagai tetangga yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Korut.

Hubungan antara Korut dan Jepang penuh dengan perselisihan selama beberapa dekade, sebagian sebagai akibat aneksasi brutal Jepang pada 1910-1945 atas Semenanjung Korea.

Pada tahun 2002, Pyongyang mengakui mendalangi penculikan sejumlah warga Jepang untuk melatih agen mata-matanya berbahasa Jepang dan adat istiadat Jepang.

Banyak dari mereka yang diculik tidak pernah kembali ke rumah, dan masalah ini terus mengaduk sentimen kuat di kalangan masyarakat Jepang.

Korut yang sedang kesulitan pangan menyebabkan PBB berusaha keras untuk mengumpulkan dana internasional menyumbangkan pangan kepada negara itu.

Badan dunia itu meminta dana sekira 218 juta dolar AS kepada masyarakat internasional tahun ini, tetapi kurang dari 20 persen yang telah dihimpun.

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, yang berasal dari Korsel,secara teratur juga menyampaikan keprihatinan mengenai kebuntuan dalam pembicaraan internasional mengenai program senjata nuklir Korut.

Dia mengatakan pekan lalu bahwa suasana hati di semenanjung Korea itu hampir "beku".

Spekulasi kekhawatiran

Kim Jong-Il memerintah Korut sejak 1994, meneruskan kepemimpinan ayahnya, Kim Il-sung, yang meninggal dunia pada tahun yang sama. Pada 2010, dikabarkan bahwa Kim Jong-Il mewariskan kekuasaannya kepada putra ketiganya, Kim Jong Un.

Menanggapi kematian Kim, Direktur Indonesia Center for Democracy, Defence, and Diplomacy (IC3D), Begi Hersutanto, mengatakan bahwa terdapat adanya spekulasi dan kekhawatiran dari kematian pemimpin Korut tersebut yang tentunya berlanjut dengan pengalihan tongkat estafet kepemimpinannya ke pemimpin yang baru.

"Semua pihak dengan seksama mencermati dan memperhatikan karakter dan pandangan dari pemimpin Korut yang baru nanti," kata Begi.

Menurut dia, dari sudut pandang internal rezim junta militer, pemimpin yang baru tersebut akan dibanding-bandingkan dengan kepemimpinan sebelumnya. Akibatnya, dengan adanya tekanan dan beban piskologis tersebut, pemimpin baru akan bergegas untuk segera membuktikan kualitas kepemimpinannya setidaknya setara dengan pemimpin sebelumnya.

Jika demikian, katanya, besar kemungkinan pemimpin yang baru berupaya untuk menunjukkan ketegasannya dengan bersikap lebih keras terhadap Barat.

Selain itu, pemimpin baru juga akan bersikap lebih keras terhadap berbagai tekanan internasional terkait dengan masalah demokrasi bagi rakyat, dan masalah program nuklir yang tengah berjalan, serta berupaya menunjukkan sikap tegas yang cenderung tidak kompromis terhadap masalah berbagai keteganggan dengan negara-negara di sekitarnya.

"Jika prospek kemungkinan tersebut menjadi kenyataan, dikhawatirkan hal tersebut akan menjadi kontra-produktif dengan upaya menciptakan stabilitas kawasan tersebut dan juga bagi upaya de-nuklirisasi," kata Begi yang juga dosen luar biasa di President University.

Di sisi lain, ia menilai, tentunya banyak pihak lainnya yang sangat berharap banyak pada kepemimpinan Korut yang akan datang dapat membawa perubahan baik bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat Korut, dan membawa perubahan baik bagi prospek stabilitas di kawasan.

Direktur Program Paskasarjana Universitas Paramadina, Dinna Wisnu PhD, berpendapat bahwa setelah kematian Kim Jong-il, pemimpin Korut akan cenderung lemah sehingga penetrasi asing akan masuk.

"China akan sigap menjaga agar Korea Selatan dan Asia Timur tak bertentangan dengan China," katanya.

Dinna juga mengatakan Korut akan menjadi medan ketegangan baru antara China dan AS.

Pyongyang mempunyai kedekatan dengan China. Kedua negara yang memiliki perbatasan yang cukup luas telah menandatangani kesepakatn ideologis. Di saat yang sama, Korsel dan Jepang sudah mulai beraksi untuk mengupayakan agar Korut menjadi bagian Semenanjung Korea yang satu.

Simbol perlawanan

Dosen Diplomasi Ekonomi Program Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Tirta Mursitama Ph.D, mengatakan bahwa kematian pemimpin Korut dalam konteks hubungan internasional dapat dimaknai dua hal.

Pertama, menurut dia, simbol perlawanan terhadap Barat yang tersisa di kawasan Asia, bahkan dunia telah tiada. Secara moral mengurangi kekuatan perlawanan Korut atas Barat dan koleganya. Kemungkinan pandangan dunia adalah menganggap kekuatan Korut telah habis dengan meninggalnya sosok Kim Jong Il atau paling tidak akan terjadi perubahan strategi Korut menjadi lebih lunak dan kompromistis, katanya.

"Namun, masih terlalu dini untuk menyimpulkan sampai tataran ini mengingat kita belum mengetahui secara pasti langkah-langkah sosok penggantinya," katanya.

Kedua, dalam penilaiannya, konsekuensi dari hal pertama, yakni strategi Barat dan konstelasi kekuatan melawan Korut tentu akan berubah. Mereka dapat menerapkan strategi yang menekan lebih keras sehingga membuat Korut mau lebih berkompromi.

Bagi kawasan Asia, kata Tirta, seiring dengan pandangan pertama, kemungkinan menjadi kawasan yang lebih stabil dengan kemauan bekerja sama akan lebih besar. Negara-negara kawasan Asia harus lebih proaktif untuk mendekati pemimpin baru Korut dan menjajaki kemungkinan kerja sama untuk Asia yang lebih aman dan damai.

Sesuai dengan amanat konstuitusi, Begi mengatakan, Indonesia harus senantiasa mendukung dan terlibat aktif dalam proses perdamaian dunia melalui mendorong proses dialog.

"Lebih lanjut RI dapat mendorong forum East Asian Summit untuk menciptakan iklim kondusif bagi proses dialog," katanya.

Namun, RI juga harus menjaga agar wacana dalam EAS dan wacana di kawasan tidak mengarah berat sebelah dan tidak berimbang terhadap posisi Korut, demikian Begi.
(T.M016)

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011