Jakarta (ANTARA News) - Kematian pemimpin Korea Utara Kim Jong-Il merupakan momentum bagi Indonesia untuk merangkul penggantinya Kim Jong-Un menuju masa depan yang lebih baik, kata pengamat internasional dari Universitas Padjajaran Bandung Teuku Rezasyah, Senin.

"Ini adalah momentum bagi Indonesia, yang memang memiliki hubungan baik dengan Korea Utara, untuk merangkul pemimpin baru negara itu dan membantu Korut membangun negaranya berdasarkan model demokrasi yang mereka yakini," kata Rezasyah saat dihubungi dari Jakarta.

Dia mengatakan dalam merangkul Korut, Indonesia hendaknya bersikap sama seperti ketika membangun hubungan baik dengan Myanmar.

"Kita harus bersikap santun dan tidak memerintah atau mendikte mengenai apa yang harus mereka lakukan. Walau bagaimanapun sebuah model demokrasi tidak bisa dipaksakan ke negara lain. Biarkan Korut menerapkan prinsip demokrasi menurut versi mereka sendiri," katanya.

Ditanya mengenai kekhawatiran dunia internasional mengenai kemungkinan pergolakan politik di internal Korea Utara ataupun Kim Jong-Un sebagai pemimpin baru akan bertindak radikal dengan memulai perang, Rezasyah menjawab kecil kemungkinan hal tersebut akan terjadi.

"Untuk sementara rakyat dan petinggi Korut mungkin akan larut dalam kesedihan karena kehilangan pemimpin besarnya. Saya yakin Korut akan bersikap rasional dan memulai perang apalagi menggunakan nuklir adalah pilihan terakhir yang akan mereka buat," katanya.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Il meninggal dunia pada usia 69 tahun karena serangan jantung, kata media pemerintah mengumumkan Senin.

Kantor Berita resmi Korea Utara (KCNA) mengatakan, pemimpin Kim "meninggal dunia akibat ketegangan jiwa dan fisik yang besar" pada pukul 08.30 waktu setempat Sabtu, sementara berada di satu kereta yang menjadi `petunjuk lapangan` dalam kunjungan-kunjungannya.

Pengumuman itu menyerukan kepada rakyat untuk mengikuti putra bungsu Kim dan pewarisnya Kim Jong-Un, yang kini berusia akhir 20-an.

"Semua anggota partai, para petugas militer dan publik dengan setia harus mengikuti kepemimpinan sahabat Kim Jong-Un dan melindungi serta lebih memperkuat front persatuan partai, militer dan masyarakat," kata kantor berita dan seorang penyiar TV yang mengumumkan kabar duka itu sambil menangis.

Pemerintah Korea Selatan melanjutkan keadaan darurat setelah berita kejutan itu, kata Kantor Berita Korea Selatan Yonhap.

Korea Utara dan Korea Selatan secara teknis tetap dalam perang sejak konflik tiga tahun Korea yang hanya diakhiri dengan gencatan senjata pada tahun 1953, bukan perjanjian perdamaian.  (A051/Z002)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011