Jakarta (ANTARA) - Pimpinan Rumah Demokrasi Ramdansyah mengatakan pihaknya menilai penetapan penjabat gubernur oleh pemerintah sepatutnya berdasarkan pada aturan teknis yang dibuat secara cermat, sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), dan mengacu pada prinsip demokrasi.

"Dalam menanggapi kisruh penetapan penjabat gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan sesuai Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Rumah Demokrasi menyatakan (penetapan penjabat gubernur) harus berdasarkan peraturan teknis yang cermat," kata Ramdansyah berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Menurutnya, aturan teknis yang sesuai dengan AUPB, prinsip demokrasi, bersifat terbuka, transparan, dan akuntabel akan memastikan penetapan penjabat gubernur tidak merugikan hak-hak kebebasan sipil serta tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Baca juga: Ahli: Penjabat gubernur untuk Aceh lebih tepat seorang birokrat

Baca juga: Ini penegasan Kapolda Metro terkait kursi Pj Gubernur DKI Jakarta


Ramdansyah pun mengatakan aturan teknis mengenai penetapan penjabat gubernur perlu dibuat oleh pemerintah karena merupakan salah satu ketentuan yang dimuat pada pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU-XIX/2021.

Dia menjelaskan pertimbangan hukum MK tersebut menyebutkan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan dan memperhatikan untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016.

Dengan demikian, tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.

Lalu, tambah dia, aturan teknis juga akan memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung secara terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas sesuai dengan aspirasi daerah.

"Dengan tidak adanya peraturan teknis, maka Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa penjabat gubernur, bupati, dan wali kota adalah pegawai negeri sipil yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku akan menjadi 'multiinterpretasi'," lanjut Ramdansyah.

Dia pun menyampaikan aturan teknis penetapan penjabat gubernur secara terbuka yang dibuat oleh pemerintah itu dapat menunjuk TNI ataupun Polri.

Baca juga: Waterpauw minta ASN Papua Barat serius bekerja dan taat aturan

Baca juga: Ngabalin: Istana belum terima usulan penjabat gubernur DKI Jakarta


Meskipun begitu, tambah dia, penunjukan perlu merujuk pada kondisi keamanan atau kerawanan suatu provinsi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Dalam aturan tersebut, disebutkan ada tiga tingkat bahaya.

"Tingkat bahaya paling rendah adalah keadaan darurat sipil di mana militer masih belum dilibatkan sebagai penguasa daerah. Lalu, keterlibatan militer sebagai penguasa daerah dilakukan ketika suatu daerah menjadi darurat militer dan darurat perang. Dalam kondisi sekarang, ketiga kondisi bahaya ini tidak terjadi sehingga alasan penempatan TNI/Polri sebagai penjabat gubernur tidak beralasan," jelas Ramdansyah.

Oleh karena itu, lanjut dia, Rumah Demokrasi mendorong PNS madya dengan rekam jejak yang jelas untuk menjadi penjabat gubernur.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022