...tapi Scholes menghadapi ancaman virus "memberhalakan jabatan" dengan membendakan sepakbola sebagai nilai tukar semata yang dapat silih berganti.
Jakarta (ANTARA News) - Jauh dari keinginan menyandang predikat sebagai pahlawan kesiangan yang menjelas-jelaskan bahwa kegemilangan di akhir karier adalah segalanya, justru sosok pemain veteran Paul Scholes nyata-nyata memaknai sebuah ketetapan diri ketika mengawali 2012. Benarkah?

Keputusan Scholes menunda masa pensiun lantas mengundang tanya, apakah gelandang Manchester United (MU) itu plin-plan bahkan menjilat ludah sendiri? Adakan pemain berusia 37 tahun itu tidak taat asas ketika menghadapi diri sendiri?

Dua tanya mengusik diri bagi publik bola yang selama ini mengagungkan fatsun, bahwa gol adalah gol dan tidak ada setengah gol. Janji adalah janji. Dengan tampil kembali, Scholes mengingkari janji masa depan kemudian memungut serpihan diri masa lalunya.

Awalnya bilang, mau gantung sepatu kemudian merintis karier sebagai pelatih, akhirnya selang sekitar enam bulan kemudian justru tampil bareng bersama Wayne Rooney dan kawan-kawan dalam laga putaran ketiga Piala FA, Minggu (8/1/2012). Lho kok begitu?

Apa yang ganjil kalau ia kembali tampil bermain, toh MU meraup kemenangan 3-2 atas seteru lawasnya Manchester City dan manajer gaek sekelas Alex Ferguson menyatakan oke-oke saja. Bukankah kemenangan adalah segalanya dalam laga bola? Apakah Fergie melakoni gaya berpolitik tujuan menghalalkan cara?

Tampil pada menit ke-59 menggantikan Nani saat MU telah unggul 3-0, Scholes justru mendatangkan kegembiraan bagi sesama tim. Di tengah kriris lini tengah United, ia justru tampil. "Dia mempertahankan diri agar tetap dalam stamina dan bentuk permainan yang baik. Saya selalu merasa bahwa dia masih pantas bermain semusim lagi, kata Fergie.

Hasilnya oke bagi United. Sang manajer juga oke, tapi Scholes menghadapi ancaman virus "memberhalakan jabatan" dengan membendakan sepakbola sebagai nilai tukar semata yang dapat silih berganti. Pertaruhannya demikian besar bagi pemain sekelas dirinya.

Ingat bahwa Scholes menyandang gelar sebagai salah satu legenda United. Gelandang yang disebut-sebut visioner itu telah mampu membawa United menyabet 10 gelar liga Utama Inggris, tiga piala FA dan dua trofi Liga Champions.

Sayangnya, ia mengerdilkan diri dengan menjatuhkan pilihan kepada dogma sekedar "enak dipakai, tak enak dibuang saja". Inikah makna sepakbola di mata Scholes?

Tanpa tedeng aling-aling, Scholes sempat menyesal terlalu cepat memutuskan pensiun pada akhir musim 2010-2011 lalu. Dia juga merasa masih mampu bermain. Setelah pensiun, dia merasa sangat rindu bermain sepak bola. Dan para pemain tak tahu jika pada pertandingan lawan City itu, Scholes bermain lagi.

"Ini sangat mengejutkan. Kami tak tahu bahwa Scholes akan bermain lagi sampai kami berkumpul di ruang ganti. Namun, dia memang pemain hebat," ungkap Rooney. Pernyataan Rooney yang nota bene mewakili punggawa United tentu bukan sekedar menonjolkan proyek pencitraan diri yang laku bak kacang goreng di jagat politik. Yang ada sekarang bukanlah segalanya.

Ketika Scholes memutuskan gantung sepatu, sejumlah mantan bintang United tak urung melontarkan pujian. Mereka satu suara mengumandangkan tembang kehidupan bahwa Aku tidak melulu memiliki masa depan karena Aku adalah masa depanku sendiri. Alasannya, masa lampau dan masa depan bersatu dalam masa sekarang.

Dwight Yorke yang bermain pada 1998 sampai dengan 2002, Clayton Blackmore (1982-1994) dan Gordon McQueen (1978-1985) menyatakan Scholes telah menyinari masa depannya dengan memilih pensiun. Yang belum terjadi hanya dapat ditemukan di tengah "yang sudah" berlalu.

Yorke menyebut Scholes sebagai pribadi unik. "Pecinta bola senantiasa membicarakan dirinya, bagaimana ia melepaskan umpan. Ia selalu hadir lebih dulu di lapangan saat digelar sesi latihan. Ia pantas menyandang gelar sebagai legenda. Ia punya karakter yang fantastis, yang justru tidak semua pemain memilikinya," kata Yorke.

Blackmore lebih menyoroti sisi unggul kepribadian Scholes. "Dalam perilakunya sehari-hari, ia tampak ingin menjadi diri sendiri. Ia mengambil porsi penting ketika kami berjuang merebut gelar Liga Inggris dan trofi Liga Champions. Ia kerapkali memberi contoh kepada sejumlah pemain muda," kata Blackmore.

Sementara, McQueen menyinggung mengenai antusiasme sebagai sisi penting dalam ziarah laga bola. "Ia menunjukkan antusiasme luar biasa bagi sepak bola. Sulit memperoleh pengganti dirinya. Ia tidak ingin setengah-setengah mencurahkan tenaga dan pikiran bagi kejayaan tim. Sisi inilah yang dilihat oleh Sir Alex," katanya.

Perpaduan antara kepribadian unik dan keinginan besar menjadi contoh bagi pemain muda serta antusiasme yang teruji di laga bola, akhirnya membaptis Scholes sebagai pemain yang seluruh pribadinya terlibat - meminjam ungkapan klasik Latin pribadi yang "totus in illis" - ketika merayakan kemeriahan hidup.

Sayangnya, Scholes melupakan bahwa pasang surut laga bola menganut paham tidak dapat ditarik kembali (irreversibilis). Adalah mustahil, mengulang dan mengucapkan sesuatu secara tepat seperti sebelumnya. Dan Scholes tetaplah Scholes.
(A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2012