Jakarta (Antara News) - Ingat kan pemilu-pemilu di era rezim Soeharto? Hanya ada tiga partai yang mengikuti pemilu-pemilu di era itu, yaitu Golkar, PPP dan PDI.

Namun sebelum rezim Soeharto tumbuh menjadi sangat kuat, jumlah parpol di Indonesia banyak sekali, sampai kemudian rezim Orde Baru memaksa parpol-parpol itu fusi atau bergabung menjadi satu.  Mereka yang berhaluan nasional menjadi PDI, sementara partai-partai Islam membentuk PPP.

Namun tiba-tiba saja, setelah era reformasi, partai peserta pemilu membludak kembali hingga puluhan partai.

Kian terbuka keran politik, kian tinggi animo orang membuat kumpulan-kumpulan bertujuan politik, sehingga jumlah parpol pun semakin banyak saja dari waktu ke waktu.

Pengalaman yang sudah-sudah menunjukkan, terlalu banyak parpol tidak membuat keadaan nasional menjadi lebih baik, terutama dalam soal stabilitas politik.  Untuk itu aturan menyangkut parpol mesti diciptakan, dikembangkan, kemudian ditegakkan.

Aturan paling adil dari semua aturan yang ada itu adalah membuat ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) yang pantas atau proporsional.

Beberapa kalangan bahkan meminta ambang batas ini dinaikkan.  Seorang di antara yang berpendapat seperti ini adalah pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi yang mengatakan PT  yang sesuai untuk pemilu 2014 nanti seharusnya adalah lima persen.

"Dari dulu, saya sudah setuju agar PT dinaikkan menjadi lima persen, supaya dapat merampingkan jumlah partai yang ada sekarang," ujar Burhanuddin kepada ANTARA News.

Dia merasa ambang batas sebesar ini dapat merangkumi pula parpol-parpol berpostur lebih kecil dari parpol-parpol besar yang sekarang ada.  "Partai-partai skala menengah pasti bisa lolos, meskipun PT dinaikkan menjadi lima persen," kata Burhanuddin.

Sistem presidensial di Indonesia agaknya lebih cocok untuk multipartai sederhana, tidak terlampau ekstrem seperti saat ini ada.  Lagi pula, terlampau ekstrem atau terlalu banyak sering menimbulkan kombinasi ganjil pada sistem presidensial.

"Terlalu rumit untuk sistem pemilihan di Indonesia," kata Burhanuddin.

Stabilitas pemerintahan --yang tentunya bersambungan langsung dengan stabilitas nasional-- berkaitan langsung dengan kesolidan sistem pemerintahan.  Dan bangunan pemerintahan atau kekuasaan yang kuat, akan membuat penyelenggaraan berpemerintahan menjadi lebih efektif, bahkan lebih efisien.

Faktanya, pemerintahan sejenis ini lebih sering dibangun oleh sistem politik yang tak dihuni oleh terlalu banyak partai politik.

 "Kalau partai lebih sedikit maka fragmentasi bisa jadi lebih moderat," kata Burhanuddin.

Masalahnya, demokrasi tak bisa membungkam aspirasi warga negaranya untuk berorganisasi politik, sehingga adalah legal parpol-parpol mana saja, termasuk parpol kecil yang tidak lolos PT, untuk tetap hidup.

Lalu bagaimana mengatasi soal ini, Burhanuddin menawarkan jalan keluar, yaitu partai-partai yang mungkin tidak lolos PT, untuk berkoalisi, termasuk dengan partai besar.

"Pemilih juga dapat memilih partai dan berideologi sama dengan partai yang tidak lolos PT," ujar Burhanuddin.
    
Sementara itu, dalam pandangan pengamat politik dari Universitas Diponegoro, Ari Junaedi, PT lima persen adalah sangat tepat untuk menyederhanakan jumlah partai.

"Kita bisa memberikan partai-partai menengah untuk lebih menaikkan suara," ujar Ari.

Ari menyatakan selama ini kepartaian Indonesia dikuasai oleh hanya tiga partai besar yang selalu mendominasi pemilu.

Idealnya sih, kata dia, lima partai saja.  "Karena lima partai ini mampu mencakup seluruh konfigurasi yang ada," sambungnya.

Sama dengan Burhanuddin, Ari menilai partai kecil sebaiknya bergabung saja dengan yang lebih besar, khususnya yang berplatform atau berideologi sama.

Ari menyebut PT lima persen sebagai  penyederhanaan yang sangat tepat.

Mungkin benar seperti itu, namun yang lebih penting adalah apakah proposal ini menjamin bakal meningkatkan kualitas parpol dan elite politik yang tercipta nanti? (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012