Jakarta (ANTARA) - Saksi dari konsumen dalam kasus penggelapan setoran uang muka pembelian rumah dengan terdakwa pasangan suami-istri, FH dan N, menyatakan tertarik membeli rumah karena tawaran lokasinya berada di Jakarta Utara.

Dua saksi yang dihadirkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa, menyatakan bertemu dengan FH dan N dalam acara promosi produk properti tahun 2017 bahkan bersedia menyetorkan uang muka karena tertarik dengan lokasi di Cilincing, Jakarta Utara.

Mereka juga tidak menaruh curiga saat menerima surat pemberitahuan bahwa lokasi rumah dipindahkan ke Sukapura, Jakarta Utara.

Dua saksi yang dihadirkan menyebutkan uang muka yang besarnya 30 persen dari harga properti sebagian besar diangsur serta masing-masing sudah menyetor kurang lebih Rp300 juta.

Saksi mengaku baru mengetahui kasus penggelapan setelah mendapat penjelasan dari SA selaku direktur pemasaran beserta pengacara.

"Saya hanya ingin uang kembali yang Mulia," kata saksi W di depan majelis hakim.

PN Jakarta Selatan juga melakukan pemeriksaan terhadap direksi dan mantan direksi di PT PCIK

Direksi dan mantan direksi ini mengaku awalnya bertemu dengan terdakwa FH dan N dalam seminar properti serta ditawarkan untuk bergabung ke dalam PT PCIK namun tidak diberi akses atau kewenangan untuk mengatur keuangan perusahaan. Bahkan biarpun sudah berkali-kali meminta laporan keuangan kepada FH dan N, namun laporan tersebut tidak kunjung diberikan.

Saksi FW yang awalnya direkrut sebagai arsitek namun kemudian ditawari menjadi direktur di PCIK. Karena tidak kunjung diberikan laporan keuangan oleh FH dan N, dia pun memutuskan keluar dan digantikan oleh SA dan CK.

Saat memeriksa saksi SA (Direktur PCIK) dan CK (mantan Direktur PCIK), terungkap dana tidak cukup di rekening PCIK untuk mengembalikan uang muka rumah menjadi dasar pelaporan ke Kepolisian mengenai kasus penggelapan.

"Jadi ada pembeli rumah menuntut uang muka Rp75 juta dikembalikan karena rumah yang dijanjikan tak kunjung dibangun. Tetapi pengembalian melalui transfer juga tidak pernah masuk ke dalam rekening bersangkutan," kata SA selaku Direktur PCIK saat ini.

SA dalam sidang yang mengagendakan pemeriksaan saksi-saksi mengatakan, N adalah mantan direktur yang menjabat dari tahun 2016 sampai Oktober 2018 namun masih memegang kendali atas keuangan dan rekening perusahaan di PT PCIK sampai September 2020. Pada saat itu N hanya memperlihatkan bukti transfer bank sebesar Rp75 juta.

Karena uang Rp75 juta tidak kunjung diterima oleh pembeli, SA lantas memeriksa langsung ke pihak bank ternyata terungkap dana yang terdapat di rekening koran tidak mencukupi.

Atas bukti-bukti itu, SA lantas melakukan audit internal. Ternyata dari saldo di rekening koran telah terjadi sejumlah penarikan yang total nilainya Rp18 miliar. Atas dasar temuan itu juga SA kemudian melaporkan kasus tersebut kepada Kepolisian pada 5 Oktober 2020. Audit forensik yang dilakukan atas dugaan penggelapan ini nilainya mencapai Rp24 miliar.

Penarikan itu seluruhnya masuk ke kantong pribadi FH dan N yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan rumah. Bahkan beberapa kali penarikan dilakukan dari Singapura dan Jepang.

Masih di depan majelis hakim, SA lantas membeberkan pembeli rumah di PT PCIK jumlahnya mencapai 50 orang. Mengingat saat ini SA menjabat sebagai Direktur PT PCIK maka praktis semua pembeli rumah yang sudah menyetorkan uang muka juga menagih janji kepada dirinya.

Hal serupa juga disampaikan saksi CK selaku mantan direktur di PCIK yang sudah mengundurkan diri pada Oktober 2020 yang mengatakan  awalnya direkrut pasangan FH dan N sebagai tenaga pemasar.

Ketika itu, FH dan N masing-masing menjabat sebagai komisaris dan direktur. Namun dalam perjalanan waktu lantas menawari CK sebagai direktur menggantikan FW yang mengundurkan diri.

Serupa dengan SA, CK juga mengaku mengalami nasib serupa karena ditagih pembeli rumah yang tidak kunjung serah terima padahal sudah menyetorkan uang muka.

Sedangkan saksi ES yang merupakan tenaga pemasar lepas (freelance) mengaku juga menerima nasib serupa harus dimaki-maki pelanggan (customer) karena rumah yang dijanjikan tidak kunjung dibangun.

Sebelumnya dia sempat menanyakan aspek legalitas tanah yang akan dibangun perumahan kepada pasangan FH dan N karena di lokasi tersebut juga terdapat areal pergudangan.

Terkait temuan itu, FH dan N memastikan tanah itu dari aspek legal aman namun pada tahun 2017-2018 mendadak pasangan tersebut menginformasikan kepada dirinya tanah untuk perumahan itu dipindahkan.

ES mulai curiga dan kemudian terungkap tanah itu tidak pernah dimiliki FH dan N sampai akhirnya dia dikejar-kejar konsumen karena rumah tak kunjung dibangun.

Akibat perbuatannya, terdakwa FH dan N diancam dengan Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dengan sanksi penjara maksimal lima tahun.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2022