Kami tidak memiliki kekuatan"
Jakarta (ANTARA News) - Ini bukan pertama kalinya Dadang (45) menyambangi Istana Negara dan Gedung DPR RI. Tentu saja dia tak datang berwisata. Ia ingin meminta keadilan.

Ia ingin menyampaikan aspirasinya dan berharap itu didengar.

Bergabung bersama Serikat Petani Pasundan, petani asal Cikajang, Garut itu membawa harapan dan kekhawatiran lamanya kepada para pemimpinnya.

Menggandul satu tas, ia turun ke jalan, menyatu dengan puluhan ribu orang asal Jabotabek, Banten, dan Jawa Barat yang tergabung dalam Sekertariat Bersama (Sekber) Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia.

Dadang berkisah, ia selalu dilanda kekhawatiran saat menggarap ladangnya, apakah tanah adat yang selama ini digarapnya bersama petani lain, bakal diambil alih pemerintah, untuk kemudian dijual kepada pengusaha.

Mereka tidak memiliki sertifikat sah.  Mereka kian takut. Mereka hanya bisa pasrah.

Kasus Mesuji di Lampung yang meledak beberapa waktu lalu membuat Dadang makin gelisah.

"Kami takut kejadian seperti di Mesuji terulang," kata Dadang lirih, di tengah lautan manusia yang Kamis itu mengerubungi kompleks Gedung DPR RI.

Ia berharap, tanah diberikan kepadanya dengan sertifikat yang sah.  Orang-orang seperti Dadang akan tenang berusaha, dan hasil usahanya bisa memberikan pajak kepada negara. Begitu jalan pikiran Dadang.

"Kalau tidak menggarap lahan itu, kami mau kemana?" kata Dadang setengah meratap.

Tidak jauh beda darinya, Carwan (35), petani asal Cikesik, Pandeglang juga mengkhawatirkan tanah adat yang digarapnya yang bahkan sudah dijual ke sebuah perusahaan.

Carwan menyebut tanahnya dijual secara paksa, tanpa ada musyawarah. Ia dan teman-temannya hanya diberi jatah penjualan tanah sekitar Rp50 ribu hingga Rp500 ribu.

"Kami tidak memiliki kekuatan. Kalau bisa, tanah milik adat dikembalikan ke masyarakat atau walau dijual ya diberikan harga yang sesuai," kata Carwan.

Orang-orang kecil ngeri membayangkan tanah-tanah rakyat belakangan begitu mudah dicaplok.

Turun tangan

Kasus-kasus seperti Mesuji semakin membuat mereka sendirian menghadapi ketakutan mereka sendiri, karena pada kebanyakan kasus seperti di Mesuji, ternyata pemerintah dan korporasi tidak segan-segan mengerahkan kekuatan seperti polisi dan pam swakarsa untuk mengusir orang-orang seperti mereka  yang berani melawan perampasan tanah.

Kasus Mesuji berawal dari ketidakberesan pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam mengatur kepemilikan lahan antara perusahaan dan rakyat.

Ketidakberesan membuat rakyat dan pengelola tanah sekarang berseteru, sampai menumpahkan darah di antara mereka.

Belasan orang dikabarkan tewas dalam kasus Mesuji. Dalam bentrok aparat dan warga di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat beberapa waktu lalu, 30 warga dilaporkan mengalami luka tembak, tiga orang tewas.

Blokade Pelabuhan Sape oleh warga dipicu oleh Surat Keputusan Bupati yang mengijinkan eksplorasi tambang emas oleh PT Nusantara Timur Mineral yang segera ditentang warga sekitar situs eksplorasi.

Kasus Mesuji dan Bima adalah dua diantara banyaka kasus yang dianggap sebagian kalangan sebagai perampasan tanah. Ini menambang panjang daftar konflik akibat sengketa agraria.

Berdasarkan data Walhi, selama 2011 terjadi 103 kasus perampasan tanah rakyat di berbagai daerah di Indonesia. 12 orang tewas karena konflik ini, dan ratusan lainnya terluka.

"Kami ingin SBY langsung turun tangan. Ia harus punya sikap bagaimana menata sumber-sumber agraria secar nasional," kata juru bicara Sekber Rahmat Ajiguna.

Perampasan tanah telah membuat petani, nelayan, dan masyarakat adat kehilangan sumber hidup mereka.

Kamis kemarin, bersama kaum buruh yang merintih sakit diserang sistem kerja "outsourcing, mereka --termasuk Dadang dan Carwan-- menggelar demonstrasi besar-besaran di bawah payung "Sekertariat Bersama (Sekber) Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia".

Gabungan 77 organisasi petani, buruh, masyarakat adat, perempuan, pemuda mahasiswa, perangkat pemerintahan desa, dan LSM ini menuntut pembaruan agraria dan desa demi keadilan ekologis.

Mereka mendesak segala bentuk perampasan tanah rakyat segera dihentikan.  Mereka menuntut tanah-tanah yang dirampas dari rakyat dikembalikan kepada rakyat.  Mereka mendakwa Pembaruan Agraria Sejati harus sesuai dengan Konsitusi 1945 dan UUPA 1960.

Mereka juga meminta TNI/Polri tidak ditarik masuk ke konflik agraria, sebaliknya mereka yang berjuang melawan perampasan tanah segera dibebaskan.

Akhirnya, mereka menuntut DPR segera membentuk Pansus penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam tanpa merevisi UU No.5/1960.

Setelah berjam-jam mengepung Gedung DPR RI, mereka berhasil mengumpulkan 26 tanda tangan anggota dewan yang mendukung pembentukan panitia khusus konflik agraria.

"Angka itu sudah melewati syarat 20 tanda tangan anggota dewan sebagai penggagas terbentuknya pansus," kata Direktur Eksekutif WALHI, Berry N Furqon.

Akankah pansus itu terbentuk? Bisakah pansus itu membuat Dadang, Carwan, dan masyarakat yang menjadi korban sengketa agraria, tenang bahwa mereka kini tidak dibayang-bayangi mimpi buruk tanah mereka tidak lagi dirampas?
(*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012