Dubai (ANTARA News) - Raja Bahrain mengumumkan amandemen UUD, Minggu, sehingga memberi parlemen kekuasaan lebih dalam mengawasi pemerintah.

Namun pihak oposisi menyatakan itu jauh di bawah tuntutan demokrasi yang didesakkan dalam setahun demonstrasi di negara Teluk Arab itu. 

Pidato sang raja tidak menyingguh bentrok antara polisi dengan para aktivis oposisi yang kebanyakan syiah yang hampir setiap hari berunjuk rasa sejak hukum darurat dicabut pada Mei lalu setelah pemerintah yang didominasi sunni melabrak gerakan prodemokrasi.

Negara Teluk yang menjadi tempat pangkalan Armana Kelima AS, dipandang AS dan Saudi Arabia sebagai sekutu kunci mereka dalam menghadapi kekuatan syiah non Arab di Iran.

Amendemen yang meliputi hak bertanya kepada menteri dan mosi tidak percaya kepada kabinet, adalah hasil dari sebuah dialog nasional yang diogranisir Raja Hamad bin Isa Al Khalifa tahun lalu setelah pemerintah yang didominasi sunni menghancurkan gerakan prodemokrasi yang didominasi kaum syiah.
Partai oposisi utama Wefaq menarik diri dari dialog nasional itu dengan mengatakan itu tidak banyak menawarkan reformasi yang nyata.

Dalam pidatonya yang disiarkan televisi nasional, Raja mengatakan, "Demokrasi bukanlah sekadar aturan konstitusional dan legislatif, melainkan sebuah budaya dan praktik yang dipandu hukum dan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional." 
 
Saeed Shehabi, seorang pemimpin oposisi yang berbasis di London, menulis di sebuah koran Inggris, 'Tidak pernah dalam sejarah, seorang diktator menjadi demokrat. Jadi, bagaimana bisa mengharapkan Al Khalifa berubah? Mereka mesti pergi." 

Reuters melaporkan, para analis mengatakan bahwa kelompok garis keras dalam keluarga Khalifa yang didukung Saudi Arabia, berada di atas hukum dan menolak reformasi lebih jauh. (*)

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012