Jakarta (ANTARA News) - Kebenaran (mabrur) yang substansial dari ibadah haji adalah ketika yang bersangkutan mampu meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat kemanusiaannya setelah kembali dari menunaikan ibadah haji.

Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, "Allah tidak melihat (kualitas iman) kamu sekalian dari pakaian dan atribut yang dipakai, tetapi dari (keimanan) yang ada dalam hati-hati kamu sekalian." Artinya, ibadah haji sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas iman, ukurannya jelas, tidak dilihat dari gelar haji yang disandangnya. Namun, sejauh mana ibadah yang telah dilaksanakan membekas dalam hati, lalu terefleksi dalam kehidupan sehari-hari.

Prosesi ibadah haji dengan simbol-simbol semangat kemanusiaan yang anggun dan mendasar. Aktualisasi dari simbol-simbol itu dalam wujud sikap dan tingkah laku sehari-hari merupakan isyarat dari kemabruran haji seseorang.

Namun, sulit disangkal bahwa setiap muslim pasti ingin naik haji. Karena itulah, segala upaya ditempuh. Mulai dari menabung sedikit demi sedikit hingga menggali lubang alias berutang.

Susah dipungkiri pula bahwa keinginan naik haji masyarakat kita sangatlah besar. Dalam skala global, asumsi ini menemukan relevansinya sebab setiap tahun terdapat ribuan penduduk Indonesia berbondong-bondong berangkat dan kembali dari Tanah Suci dengan atribut baru: sebagai "Bapak Haji" atau "Ibu Hajah".

Harapan kita, dengan atribut baru itu, akan lahir suasana kehidupan baru yang lebih baik. Harapan ini perlu ditandaskan karena bertambahnya jumlah hujjaj (mereka yang pergi haji) belum berimplikasi secara signifikan bagi perubahan masyarakat ke arah lebih baik.

Sejatinya, gelar haji merupakan bagian dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang. Artinya, gelar itu hanya berhak dimiliki oleh mereka yang telah menunaikan rukun (fondasi) Islam kelima. Namun, apakah legitimasi formal itu menunjukkan kualitas spiritual yang substansial? Inilah persoalan krusial yang sulit dijawab.

Dalam skala yang lebih besar, kesalehan yang terbentuk dengan semakin meningkatknya perilaku dan sifat positif di masyarakat akan membentuk skala "manusia positif" yang lebih besar.

Seorang manusia positif yang memiliki kesalehan sosial yang tinggi diharapkan dapat menerapkan perilaku positifnya ke dalam lingkungan masyarakat.

Dengan demikian, dalam skala yang lebih besar, dapat terbentuk masyarakat yang memiliki kesalehan sosial yang tinggi.  Dan harapan kita, jutaan haji yang ada di Indonesia membawa pengaruh pada perbaikan akhlak bangsa. (*)

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2012