Gaza City (ANTARA News) - Jallal Madi, ayah lima anak, memperoleh penghasilan Rp22 ribu sehari lewat dua tangannya dan satu beliung yang ia gunakan untuk mengolah kembali gunungan sampah bau di Jalur Gaza. Wajahnya kotor, kedua tangannya hitam legam, dia berkata menggumuli sampah hanya untuk bertahan hidup. "Orang-orang melupakan kami," kata pria Palestina berumur 30 tahun itu sambil meludah. Setelah perang brutal selama 22 hari sebagai puncak dari 18 bulan blokade Israel ke Jalur Gaza, perekonomian kantong Palestina itu hancur sehancur rumah tinggal dan bangunan mereka serta angka pengangguran yang memecahkan semua rekor yang ada. Untuk mereka yang menjadi termiskin dari yang miskin, kehidupan sehari-hari mereka adalah bagaimana mempertahankan hidup. Mengolah kembali sampah atau besi tua adalah pekerjaan yang ditekuni Madi dan banyak warga lainnya untuk menutup kekurangan bantuan PBB yang selama ini menghidupi 900 ribu dari 1,5 juta penduduk Gaza. Di Yarmuk, dimana sebuah tempat pembuangan sampah terbesar di Jalur Gaza berada, sekitar 20 pria dewasa dan anak-anak berlomba mencakar gunungan sampah. Jallal bertugas mengumpulkan tiga sampai lima kilogram plastik setiap hari untuk kemudian dijual ke sebuah perusahaan pengolah sampah di tempatnya. "Hamas memperoleh uang dari (Ismail) Haniya (Perdana Menteri Hamas). Orang-orang Fatah mendapat uang dari (Presiden Palestina) Mahmud Abbas. Nah, kami tidak mendapat sepeser pun," kata Jallal. "Setelah Yasser Arafat meninggal, semua orang melupakan kami." Sebuah truk sampah mengeluarkan muatannya, anak-anak berlarian mendekat truk itu untuk menjadi yang pertama memungut tumpukan sampah memuakkan yang dimuntahkan truk. Di dekatnya, Abu Mohammed (48) beristirahat sejenak menyandarkan tubuh ke gerobak sampah miliknya dan sama sekali tidak tertarik pada apa yang terjadi di sekitarnya. Sebatang rokok menyala diantara dua jari tirusnya. "Tiap hari saya ke sini sekitar pukul dua dan bertahan hingga malam. Kami menghasilkan lima atau 10 shekel (mata uang Palestina), tidak lebih dari itu," katanya. "Itu sudah cukup untuk membeli sekerat roti dan sekersek tomat. Keras, keras sekali hidup ini." Seperti kebanyakan pria Gaza, dia pernah bekerja lama sebagai buruh bangunan di Israel. Abu Mohammed mengenang masa-masa itu seolah bernostalgia. "Kami membawa pulang 4.000 shelel (sekitar Rp11 juta) sebulan. Saya bekerja di Eilat, Dimona, Haifa." Israel menghentikan izin kerja para pekerja Palestina dari Jalur Gaza mulai tahun 2006 manakala Hamas, kelompok perlawanan Palestina yang berikrar menghancurkan Negara Yahudi, memenangkan pemilu di Palestina. Dari Juni 2007, tatkala Hamas memaksa keluar pasukan yang loyal kepada Presiden Mahmud Abbas dari Gaza lewat bentrok jalanan yang berdarah, Negara Yahudi Israel mengurung Jalur Gaza kecuali untuk bantuan kemanusiaan yang esensial bagi warga Gaza. Proyek-proyek konstruksi terbengkalai gara-gara bahan baku tidak lagi bisa dikirimkan masuk ke Jalur Gaza. "Semua pabrik tutup. Kini Israel menghancurkan semua itu selama ofensif ke Gaza," kata Abu Mohammed. "Saya lihat semakin banyak orang datang ke sini," katanya sambil menambahkan dia malu mengungkapkan nama sebenarnya karena takut keluarganya mengetahui bagaimana ia bisa bertahan hidup. Shaaban (27) berjalan selalu merunduk ke tanah mencari botol atau apapun yang masih layak untuk dijual kembali. "Sebelum ini saya kuli bangunan. Tapi karena badan saya terluka, tangan saya lumpuh," kata ayah tiga anak tersebut sambil memperlihatkan lengannya yang buntung karena menjadi korban pertempuran Hamas-Fatah pada 2007. Kini dia menggantungkan hidupnya pada kemurahanhati PBB, termasuk jatah beberapa kilo beras dan terigu untuk setiap tiga bulan sekali. "Itu tak pernah cukup," katanya. "Sampah adalah kehidupan kami. Anda bahkan boleh menyebut kami tidak mempunyai kehidupan." Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (The United Nations Relief and Works Agency/UNRWA) yang merawat para pengungsi Palestina di Gaza, momohon pada Israel untuk membuka kembali perbatasan-perbatasannya bagi masuknya lebih banyak bantuan kemanusiaan pokok ke Gaza. "Situasi di sini sekarang membuat orang menjadi sangat putus asa," kata Kepala UNRWA di Gaza, John Ging, Rabu. "Seperti halnya kerusakan dan kehancuran, kami di sini tak punya kehidupan ekonomi, begitu banyak orang yang kini hidup tergantung pada bantuan makanan dan bantuan lainnya." Sumber :Mehdi Lebouachera/AFP

Oleh
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009