Jubah biksu Budha di Thailand warna oranye, berbeda dengan jubah biksu Budha di Korea Selatan yang berwarna abu-abu, itu karena bahan untuk mewarnai jubahnya juga berbeda,
Jakarta (ANTARA) - Kesan yang didapat saat melihat budaya sendiri tampil di negara asal dan impresi ketika muncul di negara lain dapat berbeda.

Perbedaan itu terjadi bisa karena ketidaksamaan interpretasi budaya, namun bisa juga karena romantisme yang mendatangkan rasa kangen budaya sendiri.

Intinya, pertunjukan budaya menolong orang-orang yang berasal dari kebudayaan berbeda dapat saling mengenal dan diharapkan dapat melanjutkan komunikasi sehingga dapat paham satu sama lain.

Momen saling mengenal budaya itulah yang diharapkan tercipta dari ASEAN Culture House di Busan, Korea Selatan yang dikelola oleh Korea Foundation.

Baca juga: Festival budaya Korea bersama Eric Nam berlangsung daring

ASEAN Culture House didirikan guna memperingati KTT ASEAN-Korea Selatan 2014 di Busan dan dibuka untuk umum mulai 2017. Gedung seluas 6.334 meter persegi dengan empat lantai tersebut menghadirkan berbagai benda budaya sekaligus ruang pamer untuk menyoroti sejarah, masyarakat dan budaya dari 10 negara anggota ASEAN.

Terdapat berbagai fasilitas yang terdapat di ASEAN Culture House antara lain aula pameran spesial, aula pameran permanen, "Memorial Hall", "Virtual Reality Room", ruang multimedia, ruang seminar, "Cultural Experience Room", ruang konferensi, teater dan area perkantoran.

"Masing-masing negara ASEAN punya budaya dan bahasa masing-masing, Korea Selatan menghormati setiap budaya masing-masing negara dan bukan hanya ASEAN sebagai suatu konsep entitas," kata Direktur General ASEAN Culture House Korea Foundation Lee In Hyuck di Busan pada 2 Juni 2022.

Lee menyampaikan hal tersebut saat menerima kunjungan "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea" yaitu program bentukan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation yang diikuti oleh 9 jurnalis asal Indonesia.

Masing-masing lantai di ASEAN Culture House juga punya fungsi masing-masing. Lantai pertama adalah lokasi pameran tematik, sementara lantai dua menampilkan pameran tetap yaitu pameran berbagai barang budaya negara ASEAN, lantai tiga untuk studio masak, lantai empat berfungsi sebagai auditorium untuk pemutaran film, kuliah dan kelas bahasa. Sedangkan di lantai bawah tanah ada kafe sekaligus tempat penyimpanan.

Sejak dibuka pada 2017, sudah ada 160 pameran yang digelar di tempat tersebut.

Dengan adanya ACH ini, diharapkan publik di Korea Selatan terutama Busan, dapat lebih mengenal budaya negara-negara ASEAN. ACH dibuka untuk umum pukul 10.00 - 18.00 waktu setempat pada Selasa-Jumat dan pukul 10.00-19.00 waktu setempat untuk Sabtu dan Minggu.

Ragam budaya

Di lantai kedua tidak kurang ada 300 benda budaya dari 10 negara ASEAN. Pameran tidak disusun berdasarkan negara namun berdasar tiga tema besar yaitu agama, seni dan kehidupan.

Di bagian awal, ada 10 "kiosk" (anjungan mesin dengan layar sentuh besar) yang menampilkan salam dalam bahasa masing-masing negara ASEAN, garis besar negara dan baju daerah semua dalam bentuk animasi yang menarik.

Pada bagian selanjutnya tampak barang-barang yang disusun berdasarkan agama-agama yang ada di negara ASEAN yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu beserta ragam penerapan agama tersebut di negara ASEAN.

"Jubah biksu Budha di Thailand warna oranye, berbeda dengan jubah biksu Budha di Korea Selatan yang berwarna abu-abu, itu karena bahan untuk mewarnai jubahnya juga berbeda," kata pemandu.

Di bagian peninggalan budaya, ditampilkan wayang dalam berbagai bentuk mulai dari wayang kulit, wayang golek, wayang purwa dan lainnya. Terdapat juga berbagai lukisan dan patung yang mengisahkan cerita Ramayana dengan beragam varian nama.
Pemandu menjelaskan soal wayang di ASEAN Culture House, Busan, Korea Selatan pada 2 Juni 2022. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Selanjutnya di lantai dua sedang digelar pameran "Time for Tea and Coffee" yang menampilkan ragam produksi maupun cara mengonsumsi teh dan kopi dari negara-negara ASEAN dipadukan dengan seni kontemporer.

Pameran tersebut merupakan karya artis Baek Jeong-gi, Lee Chang-won, dan Park Hwa-young dan tim desainer grafis Gowaseo (Park Go-eun dan Kim Seo-kyung) dan tim desain ruang Mujin-dongsa (Kim Tae-hyung, Son Jeong-min).

Baca juga: Budaya Korea dipromosikan secara daring selama pandemi COVID-19

Ada tiga kata kunci yang ingin ditunjukkan dalam pameran itu yaitu kopi, teh dan jeda.

"Para pencipta karya ingin menunjukkan bagaimana ia menginterpretasikan waktu jeda dari berbagai rutinitas dengan menyeduh teh dan kopi serta menikmati suara, aroma maupun rasa dari teh dan kopi tersebut," kata kurator.
Kurator menjelaskan lukisan timbul yang dibuat dari ampas kopi dan teh di ASEAN Culture House, Busan, Korea Selatan pada 2 Juni 2022. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Seniman Baek Jeong-gi berkarya melalui foto lanskap yang dicetak menggunakan pigmen hasil ekstrasi daun, bunga, dan batang teh

Seniman Changwon Lee membuat gambar dan pahatan pahatan, mengenai zaman kolonial negara-negara ASEAN pada masa lalu dengan bubuk kopi.

Penulis Hwa-Young Park menunjukkan noda cangkir kopi yang dikonsumsi setiap hari dalam 4 tampilan video dan menerjemahkan "Coffee Break" sebagai waktu untuk "beristirahat" yang dinamis.

Sedangkan duo desainer grafis Gowaseo mengekspresikan budaya kopi dan teh di kawasan ASEAN dalam grafis-grafis di tembok dan tim desain spasial Mujindongsa menciptakan ruang yang menafsirkan ulang ruang teh dan kopi negara-negara ASEAN untuk memberikan relaksasi sekaligus pengalaman budaya kepada pengunjung pameran.

Sedangkan di lantai tiga ada ruang untuk kelas memasak dan belajar bahasa.

"Bahasa ASEAN yang diajarkan di sini ada bahasa Melayu, Indonesia, Khmer, Vietnam, Thailand dan Burma," ungkap petugas.

Tidak ketinggalan ruang teater untuk memutar film-film ASEAN, tidak kurang sudah ada 8 judul film Indonesia yang diputar di ASEAN Cultural House.

Presiden Korea Foundation Geun Lee mengaku bahwa negara ASEAN, termasuk Indonesia adalah mitra penting bagi Korea Selatan sehingga Korea Foundation berjuang untuk mendirikan kantor di negara yang menurutnya penting.
Presiden Korea Foundatin Geun Lee (kiri) dan pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal saat menerima kunjungan "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea" di Seoul, Korea Selatan. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Korea Foundation (KF) punya 9 kantor perwakilan yaitu di Seoul, Washington DC dan LA, Tokyo, Moscow, Beijing, Berlin, Hanoi dan Jakarta. Kantor di Jakarta baru berdiri pada 2019 lalu.

"Sangat sulit untuk mendirikan kantor Korea Foundation di satu negara. Kami hanya punya 9 kantor perwakilan dan tidak punya kantor di London, Paris, Roma, Kanada bahkan Australia yang bisa dianggap lokasi-lokasi penting di dunia. Kantor perwakilan kami, termasuk di Jakarta merupakan hasil usaha sungguh-sungguh dari KF karena pemerintah Korsel menganggap hubungan dengan Indonesia sangat serius," kata Geun Lee saat makan siang bersama dengan peserta "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea" di Seoul 31 Mei 2022.

Masing-masing negara, menurut Lee, punya karakter sendiri dan kegiatan di kantor perwakilan juga disesuaikan dengan karakter negara tersebut.

"Untuk membuka kantor kami harus dapat izin dari Kementerian Keuangan karena kami butuh anggaran yang cukup namun dengan pendirian kantor perwakilan KF di suatu negara maka dapat menunjukkan praktik nyata kebijakan luar negeri Korsel, artinya bila ada kantor perwakilan KF di negara itu memang punya hubungan sangat spesial," tambah Lee.

KF punya sekitar 150 orang pegawainya di seluruh kantor, termasuk kantor perwakilan di luar negeri.

"Sekitar 80 persen pekerjaan kami memang lebih banyak berelasi dengan orang-orang luar negeri dan bila ada kedutaan besar yang ingin melangsungkan pameran bisa kami sediakan peminjaman ruangan," ungkap Lee.

Budaya memang bukan segala-galanya dalam hubungan dua negara, namun budaya dapat menjadi langkah untuk memuluskan relasi dua negara karena luasnya fleksibilitas interpretasi atas budaya yang dianut masing-masing negara.

Baca juga: Melihat "Hallyu" sebagai diplomasi budaya Korea Selatan
Baca juga: Model baru pertunjukan pada masa COVID-19, kesuksesan Konser K-POP Dunia 2021 (Festival Budaya Korea)

Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2022