Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia Dr. Fahri Bachmid mengemukakan dari perspektif konstitusional negara wajib melindungi
hak kepemilikan atas sesuatu.

"Negara harus hadir menjadi protector sebagaimana amanah konstitusi," kata Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia Dr. Fahri Bachmid sekaligus saksi ahli dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang digelar Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa.

Dr. Fahri Bachmi mengatakan perlindungan hak tersebut baik yang diperoleh dari perikatan hukum atau bersumber pada peralihan hak lainnya, mutlak dilindungi atas dasar perlindungan hak konstitusional warga negara.

Hal tersebut sejalan dengan norma Pasal 28 D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pengakuan dan perlindungan serta kepastian hukum adalah kaidah konstitusional yang bersifat "expressive verbise" langsung tertuju kepada subjek hukum "in casu pemohon" atas apa yang dimilikinya, jelas dia.

Baca juga: Musica Studios jelaskan alasan uji materi UU Hak Cipta ke MK

Fahri berpendapat secara teoritik rumusan norma Pasal 18, Pasal 30 dan Pasal 122 Undang-Undang Hak Cipta tidak sejalan dengan kaidah perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana maksud Pasal 28 D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Ia menjelaskan Pasal objek uji materi a quo sama sekali tidak memuat tentang syarat pemulihan hak atau penggantian kerugian bagi pihak pembeli saat hak cipta atau hak ekonomi kembali kepada pencipta dan pelaku pertunjukan.

kondisi norma yang diatur dalam Pasal 18, Pasal 30 dan Pasal 122 Undang-Undang Hak Cipta tidak mendudukkan subjek hukum pada posisi yang "equal" sesuai prinsip persamaan di hadapan hukum.

Fahri cenderung sependapat dengan argumentasi dan uraian kerugian yang didalilkan pemohon dalam permohonannya. Dalam batas penalaran yang wajar kerugian tersebut dapat dipahami dengan segala konsekuensi kedudukannya, baik dari aspek ekonomi maupun keadaan hukum lainnya.

Dengan demikian, ahli berpendapat ketentuan norma Pasal 18, Pasal 30 dan Pasal 122 Undang-Undang Hak Cipta secara aktual atau setidak-tidaknya potensial bertentangan dengan norma UUD NRI Tahun 1945.

Menurut pemohon, kata dia, Pasal 18, Pasal 30 dan Pasal 122 Undang-Undang Hak Cipta menimbulkan kerugian konstitusional yang nyata serta kerugian materi bagi pemohon.

Baca juga: Komisi III DPR: UU Hak Cipta taat asas dengan UUD 1945

Demi hukum, lanjut dia, harus beralih hak yang sudah dimiliki pemohon kepada pencipta dan pelaku pertunjukan. Padahal, sebelumnya telah dilakukan jual beli atau ada biaya yang dikeluarkan pemohon.

Ia menerangkan Pasal 18, 30 dan 122 Undang-Undang Hak Cipta telah berlaku surut terhadap perbuatan hukum pemohon yang dilakukan sebelumnya. Sehingga, hal itu bertentangan dengan larangan pemberlakuan surut suatu undang-undang.

PT Musica Studios mempersoalkan ketentuan batas waktu hak milik dalam Undang-Undang Hak Cipta.

Dalam petitumnya, pemohon menyampaikan beberapa hal yakni meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 18 dan Pasal 122 Undang-Undang Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kedua, menyatakan Pasal 30 Undang-Undang Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Baca juga: Musisi dan pencipta lagu temui DPR minta pertahankan UU Hak Cipta

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022