Jambi (ANTARA) - Anti Illegal Loging Institute (AILInst) mengingatkan Jambi untuk menyalakan tanda waspada kebakaran gambut, seiring dengan prakiraan BMKG tentang musim kemarau di daerah itu, April hingga Juni 2022, yang rentan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Jambi dengan lahan gambut cukup luas dan menjadi salah satu "paru-paru" dunia harus dapat mengantisipasi dan mewaspadai karhutla, agar jangan terulang kejadian serupa pada 2015 dan 2019 yang menghabiskan sebagian besar gambut di daerah itu.

Gubernur Jambi Al Haris telah menetapkan Jambi Siaga Karhutla saat apel Siaga Darurat Karhutla Provinsi Jambi pada 2022 di Markas Korem 042/Garuda Putih Jambi, Jumat (10/6). Penetapan status itu, setelah temuan 759 titik panas dan 62,95 ha hektare lebih lahan terbakar di Jambi selama 2022. 

Jambi pernah mengalami karhutla terburuk pada 2015 dan 2019. Kebakaran hebat atas hutan itu membuat ekonomi lumpuh, sekolah diliburkan, ribuan orang terkena infeksi saluran pernapasan akut, serta kerusakan lingkungan yang serius.

AILInst mencatat total luas kebakaran hutan 191.378 ha pada 2015 dan 157.137 ha pada 2019. Sebagian besar lahan terbakar berupa hutan gambut, yakni 90,363 ha (44 persen) pada 2015 dan 101.418 ha (64 persen) pada 2019.

Selain mengalami peningkatan luas lahan kebakaran, pada 2019 kebakaran hutan gambut juga didominasi pada kawasan hutan dengan status hutan produksi dibandingkan luas kebakaran di 2015.

Berdasarkan pemanfaatannya, luas kebakaran hutan pada kawasan ekosistem gambut lebih tinggi pada kawasan hutan yang telah dibebani izin Hutan Tanaman Industri (HTI), yakni 51.223 ha pada 2015 dan 21.226 pada 2019.

Sebanyak dua pemegang izin konsesi HTI menjadi penyumbang terluas angka kebakaran hutan gambut pada 2015, yakni PT Dyera Hutani Lestari dan PT Wira Karya Sakti. Atas kejadian tersebut, izin PT Dyera Hutani Lestari dicabut pada 2015. Namun, baik PT WKS maupun eks PT Dyera Hutani Lestari pada 2019 mengalami kebakaran berulang.

PT WKS yang beroperasi pada kawasan ekosistem gambut di Distrik VII, Kabupaten Tanjung Jabung Timur mengalami kebakaran berulang pada periode karhutla 2015-2019. Atas kejadian tersebut, pemegang izin mendapat beban pemulihan kawasan dan pengelolaan ekosistem gambut pascakebakaran.

Oleh karena izin PT Dyera Hutani Lestari dicabut, kata Direktur AILInts Diki Kurniawan, restorasi gambut menjadi tanggung jawab pemerintah.

Baca juga: Budi daya ikan toman di kanal gambut Jambi upaya cegah karhutla

Secara yuridis-normatif, tanggung jawab upaya pemulihan ekosistem gambut diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2) jo 31A PP 57/2016 jo Pasal 32 PP 71/2014, di mana paling lambat 30 hari sejak diketahui kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla, maka setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan ekosistem gambut.

Pihak yang menyebabkan kerusakan ekosistem gambut di dalam atau di luar area kerjanya wajib melakukan pemulihan secara mandiri atau berkoordinasi dengan KLHK atau pemerintah setempat dengan syarat beban biaya ditanggung perusahaan pemegang izin usaha.

Secara teknikal, cara-cara yang dapat dilakukan oleh pemegang izin usaha HTI dalam pemulihan ekosistem gambut bekas areal terbakar, yaitu dengan cara suksesi alami dan rehabilitasi, serta restorasi, dan atau cara lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Restorasi untuk menjadikan ekosistem gambut atau bagian-bagiannya berfungsi kembali, melalui pembangunan infrastruktur pembasahan kembali gambut yang meliputi bangunan air, penampungan air, penimbunan kanal dan atau pemompaan air. Bangunan air itu, adalah sekat kanal, embung, dan lainnya.

Salah satu indikator keberhasilan restorasi gambut apabila jumlah titik api berkurang dibandingkan dengan sebelum restorasi serta rehabilitasi dengan melakukan penanaman tanaman endemik ekosistem gambut.

Akan tetapi, berdasarkan hasil temuan pemantauan lapangan AILInts bersama Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera (JMGS), ternyata PT WKS tidak benar-benar melakukan pemulihan restorasi lahan gambut pascakebakaran berulang di Distrik VII. 

Diketahui pula bahwa dari 59 titik sekat kanal yang dibangun oleh PT WKS di sekitar areal bekas lokasi kebakaran, empat di antaranya telah mengalami kerusakan parah. Padahal fungsi sekat kanal sangat penting dalam menjaga sifat hidrologis gambut yang telah mengalami kebakaran atau kerusakan. Proses revegetasi pada areal bekas terbakar juga cenderung tidak memperhatikan kondisi fisik gambut bekas terbakar.

Area tersebut justru telah ditanami tanaman akasia yang notabene tumbuhan invasif dan bukan tanaman endemik gambut. Diprediksi, tanaman akasia di area gambut bekas terbakar ini telah berusia 24 bulan atau kurang lebih dua tahun.

Hasil observasi AILInts bersama JMGS, PT WKS justru terindikasi melakukan pembukaan dan pelebaran kanal serta melakukan upaya revegetasi yang tidak sesuai ketentuan di lahan gambut yang belum berkembang pascakebakaran berulang 2015-2019 di Distrik VII

Pada areal bekas terbakar itu, telah dilakukan pelebaran kanal yang pada awalnya dengan empat menjadi delapan meter. Pelebaran kanal menggunakan ekskavator. 

Padahal, berdasarkan Peta Indikatif Fungsi Ekosistem Gambut Nasional 2017, diketahui bahwa sebagian besar Distrik VII PT WKS merupakan kawasan ekosistem gambut dengan status fungsi lindung di mana berdasarkan PP 57/2016 dilarang untuk melakukan pembangunan dan pelebaran kanal, kecuali karena telanjur.

Atas temuan ini, disimpulkan bahwa PT WKS tidak melakukan pemulihan ekosistem gambut sesuai PP 57/2016 jo PP 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, dan P.16/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.

Implikasi hukum pelanggaran pengelolaan dan pemulihan ekosistem gambut pascakebakaran berulang pada areal izin konsesi perusahaan HTI.

Pada 2015, PT WKS telah dijatuhi sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah untuk melakukan pemulihan ekosistem, akan tetapi belum diketahui bentuk perintah dan implementasi dari sanksi tersebut disebabkan keterbatasan informasi yang tidak transparan.

Baca juga: Kapolda Jambi paparkan pencegahan Karhutla di Forum COP26

Namun, jika merujuk pada keterangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diwawancarai oleh Riaupos.co pada 18 Juli 2020, yang dimaksud dengan paksaan pemerintah adalah melakukan sesuatu sesuai standar.

Hal yang dimaksud dengan sanksi administratif yang dijatuhkan pada 2015-2016, artinya paksaan terhadap perusahaan melakukan sesuatu menurut standar. Misalnya, pihaknya memaksa perusahaan harus memiliki secara lengkap sarana dan prasarana, termasuk tenaga teknis untuk penanganan karhutla.

Pada ringkasan kebijakan disusun Greenpeace pada 2020, dikatakan bahwa Menteri LHK juga berkomitmen mencabut izin usaha perusahaan-perusahaan pemegang izin usaha yang tetap tidak patuh pada perintah yang telah dijatuhkan sebelumnya.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 81 UU 32/2009, di mana setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.

Hal ini juga selaras dengan Pasal 79 UU 32/2009 jo Pasal 43 PP 71/2014, bahwa perusahaan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dengan baik dapat dikenakan pencabutan izin lingkungan terhadap area kerjanya.

Berdasarkan komitmen tersebut maka sudah seharusnya PT WKS yang telah mendapatkan sanksi administrasi sebelumnya, harus mendapatkan sanksi administrasi lebih berat berupa pencabutan izin usaha pada Distrik VII yang mengalami karhutla secara berulang atau denda.

Apabila perusahaan tidak berkomitmen melakukan pemulihan fungsi ekosistem gambut maka upaya terlebih dahulu oleh pemerintah adalah mendorong dan memerintahkan para pemegang izin usaha melakukan pemulihan fungsi ekosistem gambut pada area yang mengalami kerusakan.

Penerapan sanksi ini secara bertahap. Sanksi administrasi pencabutan izin hanya dapat dilakukan jika sanksi-sanksi sebelumnya tidak diindahkan perusahaan. Penerapan sanksi administrasi merupakan kewenangan pejabat administrasi, dalam hal ini menteri selaku pejabat pemerintah pusat. Secara administratif, belum ditemukan hasil penilaian dari Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK terhadap upaya pemulihan yang diperintahkan kepada PT WKS.

Baca juga: BRGM gencar bangun sumur bor di Jambi cegah karhutla

Artinya, apabila dorongan pemerintah tidak dilakukan dengan baik, barulah pemerintah melalui kewenangannya menjatuhkan sanksi administrasi, gugatan perdata, atau tuntutan pidana kepada pemegang izin usaha yang areal konsesinya mengalami karhutla sebagai indikator kerusakan ekosistem gambut yang telah tertuang dalam UU 32/2009 jo PP 71/2014 jo PP 57/2016.

Akan tetapi, fakta dan data hasil observasi lapangan menunjukkan PT WKS hingga saat ini belum menjalankan tanggung jawab dan kewajiban melaksanakan upaya pemulihan fungsi ekosistem gambut pada area bekas terbakar.

Siaga karhutla

Pemerintah Provinsi Jambi menggelar apel siaga karhutla di lapangan Korem 042/Gapu, beberapa waktu lalu, dengan dipimpin Gubernur Al Haris dan diikuti Manggala Agni, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi, Polda Jambi, Korem 042/Gapu, dan instansi terkait lainnya.

Hadir pada kegiatan itu, antara lain Kapolda Jambi Irjen Pol A. Rachmad Wibowo, Danrem 042/Gapu Brigjen TNI Supriono, dan Kepala BPBD Provinsi Jambi Bachyuni.
 
Berdasarkan data, selama Januari-Juni 2022 terpantau 759 titik panas atau hotspot di Provinsi Jambi, sedangkan lahan terbakar mencapai 62,95 ha. Lokasi paling banyak titik panas dan terbakar di daerah yang memang rawan karhutla, seperti Kabupaten Muarojambi, Batanghari, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung Timur.

Status Siaga Darurat Karhutla Jambi 2022 ditetapkan melalui surat keputusan gubernur setempat, mulai 24 Mei hingga 30 November 2022.

Penanganan karhutla harus secara cepat untuk mencegah area kebakaran makin luas, sedangkan koordinasi lintas sektoral terus diperkuat dalam penanggulangan karhutla itu.

Semua kalangan masyarakat setempat dan berbagai pihak terkait harus memiliki kesadaran yang baik atas dampak karhutla, seperti kerusakan ekonomi, perubahan iklim karena asap, gangguan kesehatan masyarakat, dan kerusakan alam.

Personel di lapangan harus tanggap dan bertindak cepat terhadap temuan sekecil apapun atas karhutla. Mereka harus bekerja secara optimal, efektif, dan efisien, terutama untuk mencegah dan mendeteksi dini karhutla.
​​​​​​​
Hal yang tidak kalah penting, personel di lapangan harus bisa merangkul masyarakat agar tidak membuka lahan dengan cara membakarnya.

Baca juga: PHE Jambi Merang bina warga desa cegah karhutla dan pencurian minyak
Baca juga: Polda Jambi apresiasi kontribusi LAPAN dalam penanganan karhutla
Baca juga: Membangun upaya bersama menjaga hutan Jambi dari karhutla

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022