Yogyakarta (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta minta Ketua DPR dan Presiden RI bertanggungjawab atas raibnya Surat Perintah (SP) II Maret 1966 yang asli dan mencari dokumen sejarah tersebut sampai ketemu. "Masalah SP 11 Maret 1966 adalah dokumen negara yang merupakan kebenaran sejarah dari Orde Lama ke Orde Baru. Oleh karena itu, pemerintah harus bertanggung jawab atas hilangnya SP tersebut yang telah 40 tahun belum ketemu," kata Kepala Divisi Sospol LBH Yogyakarta Budi Hartono SH di Yogyakarta, Jumat. Ia mengatakan pemerintah harus menjelaskan SP 11 Maret 1966 dengan meneliti dan mendengarkan kesaksian Soekardjo Wilardjito yang merupakan klien LBH Yogyakarta. Hal itu merupakan hak Soekardjo untuk diuji oleh pemerintah atas kebenaran sejarah SP 11 Maret 1966. "Jika pemerintah menjelaskan SP 11 Maret 1966 tanpa mendengar dan meneliti apa yang dialami klien kami, pemerintah dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas klien kami," ujarnya. Menurut dia, penjelasan pemerintah tentang SP 11 Maret 1966 tanpa mendengarkan keterangan saksi hidup dan saksi lain, justru akan menyulitkan pemerintah, karena dinilai berbohong, yang pada gilirannya dikhawatirkan akan menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. "Oleh karena itu, dalam menjelaskan SP 11 Maret 1966 pemerintah harus jujur dan bijaksana agar dipercaya rakyat," kata dia. Berdasarkan kesaksian Soekardjo Wilardjito, pada 10 Maret 1966 dini hari sekitar pukul 01.00 WIB di Istana Bogor kedatangan antara lain Jenderal M Panggabean, Jenderal Basuki Rachmat dan Jenderal M Yusuf yang membawa SP 11 Maret 1966. Menurut Soekardjo, SP 11 Maret 1966 bukan konsep Presiden Soekarno, namun Diktum Militer 11 Maret 1966 dengan unsur paksaan. "Semua itu harus diteliti, karena pasti ada yang memerintahkan para jenderal tersebut," ujar Budi Hartono.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006