Jakarta (ANTARA) - Cross-border selling atau penjualan lintas negara melalui platform e-dagang sebaiknya diatur oleh pemerintah guna memberikan ruang kepada pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal menurut Ekonom Universitas Indonesia (UI) Nining Indroyono Soesilo.

"Selain membuat UMKM kesulitan bersaing, praktik cross-border di e-dagang juga tidak berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dan pemerintah tidak mendapatkan keuntungan karena negara juga tidak dapat memungut pajak," kata Nining dalam keterangannya diterima di Jakarta pada Selasa (28/6).

Untuk itu, Nining menyambut baik rencana pemerintah untuk membatasi penjualan produk dari luar negeri yang difasilitasi e-dagang asing.

“Kebijakan tersebut akan sangat baik bagi pelaku UMKM lokal dalam mengembangkan usaha dan meningkatkan penjualan,” kata Nining.

Baca juga: Belasan juta UMKM jualan di platform digital

Menurut Nining, selain membatasi praktik cross-border selling, secara pararel pemerintah juga perlu mendukung pelaku UMKM dalam meningkatkan kemampuannya.

“Untuk bisa bersaing, UMKM harus bisa naik kelas dulu dan hal itu dibutuhkan proses investasi dan tahapan pembelajaran, mulai dari yang paling dasar sampai mereka expert. Jika hal itu dilakukan, usaha mereka akan terus berkembang sekaligus berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tuturnya.

Nining mengakui jika kebijakan pembatasan dilakukan guna menangkis praktik cross-border selling akan berdampak pada konsumen. Di mana, konsumen akan sulit mendapatkan produk dengan harga yang lebih murah.

“Selama ini konsumen mendapatkan harga yang lebih murah dari adanya praktik cross-border selling di e-dagang asing. Tentu mereka akan merasa dirugikan jika ada pembatasan oleh pemerintah. Karena itulah, penting sekali adanya edukasi dan kampanye kepada konsumen untuk mencintai produk-produk dalam negeri, khususnya produk dari UMKM. Dan fokus pada kualitas produk,” imbuhnya.

Harga murah karena subsidi

Menurut dia, cross-border selling merugikan UMKM karena harus bersaing dengan peritel asing yang menawarkan produk dengan harga sangat murah. Apalagi produk-produk cross-border tidak melewati perpajakan yang seharusnya.

Praktik cross-border selling melalui e-dagang asing memungkinkan terjadinya tindakan splitting atau memecah transaksi pembelian barang impor agar bebas bea masuk.

Sementara pada e-dagang domestik, tidak ada tindakan splitting. Artinya impor barang dilakukan melalui bea dan cukai dan seluruh penjual berasal dari dalam negeri sehingga memberikan kontribusi bagi pendapatan negara.

Peritel asing juga menggunakan dumping, yaitu praktik pelaku usaha untuk memproduksi barang dengan biaya semurah mungkin dan kualitas yang rendah dan mengirimkannya ke negara lain.

Murahnya harga produk dari luar negeri dikarenakan adanya subsidi dari pemerintah negeri asal produk itu. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah China. Sejak adanya pandemi, eksportir di China bisa menikmati peningkatan potongan pajak untuk 1.464 produk.

Langkah pemerintah China memang bertujuan untuk mengurangi kewajiban pajak dan bea bagi perusahaan yang beroperasi di sektor perdagangan dengan harapan dapat menurunkan biaya operasional dan mengurangi tekanan pada arus kas mereka. Karena itulah, produk-produk dari China menjadi sangat murah saat dijual ke Indonesia melalui platform e-dagang.

Baca juga: Platform SaaS e-dagang Ginee bekerja sama dengan Zalora

Baca juga: Blibli kembali gelar program belanja akhir bulan BPD

Baca juga: Kerajaan Thailand protes iklan e-commerce

Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022