Jakarta (ANTARA News) - Jaksa yang menangani perkara penyelenggaraan satuan pendidikan ilegal dengan terdakwa mantan guru SLTPN 56 Melawai, Nurlela, meminta Majelis Hakim menolak eksepsi atau nota keberatan yang diajukan wanita tersebut. "Eksespi telah masuk dalam pokok perkara, kami meminta Majelis Hakim meneruskan pemeriksaan pokok perkara," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Totok dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), Selasa. Pada persidangan yang lalu, dalam eksepsinya Nurlela dan kuasa hukumnya menyatakan Jaksa tidak tepat dan telah mengubah tempat tinggal (domisili) yang merupakan bagian dari identitas dirinya sehingga dakwaan dinilai tidak cermat dan harus batal demi hukum karena tidak mengacu pada pasal 143 KUHAP. Selain itu, JPU juga dinilai tidak cermat dalam menyatakan waktu terjadinya tindak pidana (tempus delictie) serta memberlakukan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara retroaktif. Dalam tanggapannya, JPU menyatakan bahwa surat dakwaan telah dibuat dengan cermat, jelas dan teliti serta memuat identitas Nurlela yang sesungguhnya. JPU juga meminta agar Majelis Hakim yang diketuai Johannes Suhadi melanjutkan pemeriksaan perkara untuk pembuktian materi dakwaan. Nurlela dan mantan Ketua Komite Orangtua Murid SLTPN 56 Jonni Rimon Elian menjadi pesakitan dalam kasus penyelenggaraan satuan pendidikan ilegal, pemalsuan dokumen dan perusakan pagar serta memasuki suatu lahan tanpa ijin. Kasus tersebut berawal saat Nurlela dan sejumlah guru bertahan mengajar di gedung SLTPN Melawai, Jakarta Selatan yang telah diruislag oleh Pemprov DKI dengan PT Tata Disantara milik pengusaha sekaligus mantan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief. Sebagian guru itu menolak ruislag yang disebut-sebut sarat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tersebut dan tetap bertahan di SLTPN 56 Melawai dengan jumlah siswa yang tinggal puluhan saja, bahkan melakukan kegiatan belajar mengajar di trotoar jalan saat sekolah tersebut dipasangi patok oleh Pemprov DKI Jakarta. Baik Nurlela maupun Jonni didakwa pasal 62 (1) jo pasal 71 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sementara dakwaan subsider pasal 167 jo pasal 55 (1) ke 1 KUHPidana dan dakwaan ketiga pasal 263 KUHPidana. Sidang itu dihadiri kedua terdakwa dan kuasa hukumnya berikut 20-an pendukung Nurlela yang membawa poster menuntut pembebasan Nurlela dari dakwaan. Majelis Hakim menunda sidang hingga Selasa, 21 Maret mendatang dengan agenda pembacaan putusan sela perkara tersebut.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006