Dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’alim, pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari, menyebutkan santri diperbolehkan menolak/berbeda pendapat dengan ustadznya.
Jakarta (ANTARA) - Kasus dugaan pencabulan oleh putra pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Majma’al Bahrain Shiddiqiyah di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, terhadap beberapa santriwati mengemuka dan jadi konsumsi pemberitaan nasional.

Upaya penangkapan terhadap pelaku pun tidak cukup dilakukan oleh aparat di tingkat Polres dan Polda, namun juga memaksa Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri ikut memberikan tekanan.

Perkara ini juga memaksa Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) mencabut izin operasional pesantren dimaksud.

Ironisnya, hanya berselang hari kasus serupa kembali terungkap terjadi di pesantren berbeda, yaitu di Kabupaten Banyuwangi. FZ, pengasuh pesantren tersebut ditangkap paksa oleh polisi setelah diduga mencabuli 6 orang santriwatinya dan 2 kali menolak upaya pemeriksaan.

Terungkapnya kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren itu ibarat mencairnya puncak gunung es. Kejadian serupa sebelumnya sudah banyak ditemukan, baik yang terungkap dan tertangani secara hukum dengan baik, terselesaikan secara kekeluargaan, atau menguap begitu saja.

Patut menjadi pertanyaan, mengapa dunia pesantren yang seharusnya menjadi tempat penyemaian hal-hal baik terkotori pula oleh aksi kejahatan? Institusi, mekanisme pendidikan, santri, atau pengasuhnya kah yang salah?

Takzim

Sama seperti lembaga pendidikan lainnya, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren dimulai dari tingkat dasar atau ibtidaiyah.

Pada tingkatan ini salah satu pelajaran yang diberikan adalah seputar adab atau norma untuk membentuk karakter takzim santri terhadap pengasuh, ustadz, dan seniornya selama proses pembelajaran berlangsung.

Ketakziman ini pula yang kemudian dianggap sebagai nilai plus pesantren dibandingkan lembaga pendidikan lainnya, selain juga mengajarkan ilmu, kemandirian, dan kesederhanaan.

Pada kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren yang terungkap, kepatuhan buta (sebagai bagian dari ketakziman) kerap dianggap sebagai penyebabnya, meski sejatinya itu adalah kesalahkaprahan dalam menafsir dan mempraktikkannya.

Korban pada peristiwa itu biasanya mengaku takut terhadap kuasa yang dimiliki pelaku dalam konteks hubungan pengasuh atau ustadz - santri dan senior - junior. Lantas bagaimana sebaiknya menafsirkan ketakziman agar praktiknya tidak terujung pada aksi kejahatan?

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, takzim dimaknai amat hormat dan sopan. Sementara sastrawan Welfridus Josephus Sabarija Poerwadarminta mendefinisikan takzim sebagai sebuah sikap yang mencerminkan kesopanan dan menghormati kepada orang lain, terlebih kepada orang yang lebih tua darinya atau pada seorang kiai, guru dan orang yang dianggap dimuliakan.

Pemaknaan itu sesuai dengan tujuan pembelajaran ketakziman di pesantren, yaitu membangun karakter patuh santri agar mampu mempraktikkan sikap hormat kepada pengasuh, ustaz dan seniornya.

Ada beragam jenis kitab yang dijadikan rujukan pembelajaran ketakziman santri tingkat ibtidaiyah di pesantren. Salah satunya adalah Ta’limul Muta’alim karya Imam Az-Zarnuji.

Di dalamnya dijelaskan takzim tidak semata-mata bersikap sopan dan menghormati, namun juga konsentrasi dan memerhatikan (ketika guru menyampaikan pelajaran); mendengarkan nasihat-nasihat (guru dan senior); serta meyakini dan merendahkan diri di hadapannya.

Dalam konteks hubungan pengasuh/ustadz dengan santrinya, sikap takzim berarti mengagungkan guru atas penguasaan ilmu yang dimilikinya.

Sementara kitab Jauharul Adab karya Syekh Salamah Abi Abdul Hamid di dalamnya memuat syair yang menggambarkan pelajaran ketakziman yang apabila diartikan berbunyi,

“Siswa itu wajib taat kepada gurunya, menurut apa yang diperintahkan guru di dalam perkara yang halal, dan wajib takzim (mengagungkan) kepada gurunya.” Patut digarisbawahi diksi “halal” pada syair di atas, yang berarti ketakziman santri terhadap guru hanya untuk hal-hal yang baik.

Dalam kitab yang sama disebutkan 7 (tujuh) tanda bahwa seorang santri telah mempraktikkan sikap takzim terhadap pengasuh/ustaz dan seniornya, yaitu: Selalu mengucapkan salam ketika bertemu; Mengerjakan pekerjaan yang membuatnya senang; Senantiasa menundukkan kepala apabila duduk di dekat guru; Ketika bertemu guru di tepi jalan senantiasa berhenti di pinggir seraya menaruh hormat kepadanya; Selalu mendengarkan ketika guru menerangkan seraya mencatatnya; Selalu menaruh hormat kepada siapapun; dan Menjaga nama baik guru di manapun berada.

Bukan Kepatuhan Buta

Dari penjelasan di dalam kitab Ta’limul Muta’alim dan Jauharul Adab dapat disimpulkan bahwa sikap takzim berkaitan erat dengan proses belajar mengajar di pesantren dan hanya untuk hal-hal baik.

Takzim tidak sama dengan kepatuhan buta di mana seorang santri menuruti semua perintah guru atau seniornya, tidak juga perwujudan rasa takut untuk urusan di luar urusan sharing knowledge. Santri harus memiliki keberanian menolak apabila perintah pengasuh atau ustadznya menyimpang dari hal-hal baik, semisal ajakan maupun paksaan hubungan seksual.

Pertanyaannya adalah bolehkah seorang santri menolak perintah ustadznya? Dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’alim, pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari, menyebutkan santri diperbolehkan menolak/berbeda pendapat dengan ustadznya.

Dalam konteks perintah, jika itu menyangkut hal-hal negatif yang berpotensi menjadi sebuah pelanggaran norma atau hukum, santri diperbolehkan menolak, namun tetap harus santun dalam menyampaikan penolakan.

Baca juga: Kemenag cabut izin Pesantren Shiddiqiyyah Jombang

Baca juga: Pemerintah batalkan pencabutan izin Pesantren Shiddiqiyyah di Jombang

Baca juga: Menteri PPPA: Kasus kekerasan seksual di ponpes jadi alarm pengawasan

Baca juga: Muhaimin: Pesantren berperan penting cegah kekerasan seksual






*) Samsul Hadi Karim adalah kader muda Nahdlatul Ulama (NU), mantan asisten pribadi Ketua Umum PBNU
 

Copyright © ANTARA 2022