Jakarta, 16/3 (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menolak rencana pemerintah untuk membangun bendungan-bendungan raksasa baru di Indonesia, termasuk pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang. "Bendungan terbukti tidak mensejahterakan rakyat dan merusak ekologi sungai," kata Deputi Direktur Walhi M. Ridha Saleh, di Jakarta, Kamis (16/3). Saat ini, kata dia, masyarakat di tiga daerah yaitu Sulawesi Selatan, Riau, dan Jawa Barat sedang melakukan aksi menolak pembangunan bendungan raksasa dan menuntut penyelesaian kasus perampasan lahan akibat pembangunan dam (bendungan). Menurut dia, aksi yang dilakukan oleh warga dan eksekutif daerah Walhi adalah dalam rangka Hari Aksi Anti Bendungan Internasional, 14 Maret 2006. Di Indonesia aksi dilakukan di tiga propinsi Sulawesi, Riau, dan Jawa Barat. Aksi dilakukan untuk menuntut penyelesaian atas sejumlah kasus yang timbul akibat pembangunan dam raksasa serta menuntut dihentikannya pembangunan bendungan raksasa baru. Dalam kurun waktu lima tahun ke depan, Departemen Pekerjaan Umum telah menargetkan pembangunan 11 waduk di Indonesia, salah satunya adalah waduk Jatigede di Kabupaten Bandung. "Sayangnya pemerintah tidak belajar dari kesalahan masa lalu. Di dunia, hingga akhir tahun 1980-an, kurang lebih 80 juta orang sudah tersingkir dari ruang hidupnya akibat pembangunan waduk," katanya. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Franky dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang mengatakan bahwa kebanyakan korban waduk di dunia adalah masyarakat adat, mereka dipindahkan secara paksa dari tanah leluhur tempat mereka menggantungkan hidupnya untuk pembangunan bendungan. "Di Koto Panjang (Sumbar) 8.400 orang telah dipindahkan paksa oleh pembangunan Waduk," kata Franky. Tetapi, kata dia, masyarakat tersebut bahkan tidak menerima energi listrik yang dihasilkan oleh bendungan Koto Panjang. Menurut Franky, hal yang sama juga dialami oleh banyak penduduk yang tinggal disekitar bendungan yang berfungsi sebagai pembangkit listrik, umumnya penduduk yang tinggal disekitar bendungan tidak mendapat pasokan listrik. Sementara itu Komisi Dunia untuk Bendungan (WCD), mencatat bahwa 50 persen dari bendungan yang dibangun tidak mampu menghasilkan listrik seperti yang dijanjikan, bahkan di Koto Panjang hanya mampu menghasilkan 20 persen dari kapasitas energi listrik yang direncanakan. Dalam catatan Walhi, empat dari 26 bendungan besar yang pernah dibangun di Indonesia menghasilkan pengggusuran lebih dari 40 ribu jiwa. Waduk Kedungombo menggusur 23 ribu jiwa, Kotopanjang 8400 jiwa, Bilibili 8000 jiwa, dan Gajah Mungkur sekitar 51 desa. Di Jawa Barat, total wilayah produktif yang sudah dihancurkan oleh tiga bendungan di Sungai Citarum saja (Jatiluhur, Saguling, dan Cirata) mencapai 17.000 hektar. Jumlah itu diperkirakan bertambah 6.000 hektar jika Waduk Jatigede dibangun di mana semuanya merupakan lahan pesawahan produktif yang menyimpan keragaman hayati. Kenyataannya, kata dia, hampir seluruh bendungan raksasa yang telah dibangun tidak efektif. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, seluruh waduk raksasa yang ada di Pulau Jawa mengalami krisis pasokan air. "Pengelolaan yang salah mengakibatkan fluktuasi volume dan debit berubah-ubah secara drastis. Bahkan wilayah tangkapan air yang sehat bagi Waduk Jatiluhur saat ini hanya tinggal sembilan persen," ujarnya. Kerusakan wilayah tangkapan air, lanjut dia, menyebabkan sedimen lumpur mempercepat usia bendungan dan dapat menimbulkan bencana jika bendungan tersebut jebol akibat tekanan lumpur. Sementara itu, Waduk Bilibili di Sulawesi Selatan, yang juga berfungsi sebagai penahan banjir bagi kota Makassar dan Kabupaten Gowa, menurut Franky, kini hanya berupa rawa dengan endapan lumpur yang tinggi sehingga dikhawatirkan jebol dan menimbulkan korban jauh lebih banyak lagi. Walhi dan AMAN menyerukan agar pembangunan bendungan raksasa dihentikan karena dampaknya terhadap warga yang digusur, kerusakan lingkungan, dan keterpurukan terhadap utang luar negeri. "Pemerintah saat ini harus menghentikan pembangunan bendungan baru seperti Sulewana dan Jatigede demi keberlanjutan penghidupan rakyat dan lingkungan," kata Ridha.(*)

Copyright © ANTARA 2006