Badung (ANTARA) - Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara penghasil kelapa sawit terbesar dunia sepakat memanfaatkan peluang krisis akibat konflik Rusia dan Ukraina untuk meningkatkan promosi sawit berkelanjutan (sustainable palm oil) di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Alasannya, sejumlah negara terutama yang tergabung di Uni Eropa (EU), gencar menyebarkan kampanye buruk (black campaign) terhadap sawit yang dinilai merusak keragaman hutan dan tidak berkelanjutan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto selepas pertemuan tingkat menteri ke-10 CPOPC di Nusa Dua, Badung, Bali, Selasa, menjelaskan krisis pangan dan energi akibat agresi Rusia di Ukraina harus dimanfaatkan sebagai momentum mengampanyekan sawit sebagai komoditas alternatif yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Baca juga: Airlangga: CPOPC siap wujudkan industri sawit berkelanjutan

“Ini momentum yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh CPOPC (Dewan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit), dan adanya krisis di Ukraina atau dengan adanya konflik, maka suplai dari BBM (bahan bakar minyak) atau energi juga terdisrupsi terutama dari Rusia,” kata Airlangga menjawab pertanyaan ANTARA saat jumpa pers setelah pertemuan.

Ia lanjut menyampaikan situasinya saat ini distribusi 5,5 juta ton biji-bijian (grains) dari Ukraina yang menjadi salah satu sumber pangan dan energi (biofuel) dunia terhambat karena blokade militer Rusia di Laut Hitam.

Meskipun saat ini secara bertahap 2 juta ton grains mulai keluar, tetapi itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dunia.

“Oleh karena itu, kerja sama Indonesia dan Malaysia menjadi sangat penting, karena ini menjadi kunci saat 5,5 juta ton (sumber) vegetable oil (minyak sayur, red.) yang berasal dari Ukraina belum bisa keluar secara penuh,” kata Airlangga.

Indonesia menyuplai sekitar 48 juta sawit mentah (CPO) ke pasar dunia, sementara Malaysia sekitar 16 juta ton CPO. Airlangga menyebut dua negara menyuplai setidaknya 66 juta ton CPO, sementara permintaan dunia terhadap minyak sawit mentah kurang lebih sebanyak 45 juta ton.

Baca juga: CPOPC ajukan keberatan ke Komisi Eropa atas tindakan anti sawit

Menko Bidang Perekonomian menambahkan permintaan terbesar datang dari India sebanyak 7,8 juta ton, diikuti oleh 27 negara anggota Uni Eropa (EU) 5,8 juta ton, dan China 4,5 juta ton.

Terkait situasi itu, ia menyampaikan negara-negara anggota dan pengamat (observer) di CPOPC sepakat untuk meningkatkan kampanye sawit yang berkelanjutan sekaligus memperkuat hubungan dengan negara-negara konsumen sawit.

Dalam sesi yang sama, Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Datuk Zuraida Kamaruddin sepakat peluang yang muncul di tengah situasi krisis perlu dimanfaatkan secara optimal oleh negara-negara penghasil minyak sawit.

“Konflik, peperangan antara Rusia dan Ukraina juga memberi peluang kepada negara seperti Indonesia dan Malaysia (penghasil) palm oil (minyak sawit) untuk kembali balik memberi keyakinan kepada pengguna-pengguna di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang selama ini masih memberi tanggapan-tanggapan tidak benar mengenai kebaikan sawit,” kata Zuraida menjawab pertanyaan ANTARA.

Ia menyampaikan negara-negara penghasil sawit berkomitmen dan telah menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan dalam produksi sawit, mengingat CPOPC juga telah memperkenalkan Kerangka Prinsip Global untuk Sawit Berkelanjutan (GFP-SPO).

“Ini adalah peluang kita mendapatkan keyakinan mereka untuk menerima hakikat bahwa sawit merupakan yang terbaik, sangat sustainable, dan cost effective,” kata Menteri Perkebunan Malaysia yang juga menghadiri secara langsung pertemuan tingkat menteri ke-10 CPOPC di Bali.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2022