Masalah di Papua harus lewat pendekatan hukum, bukan semata-mata militer.
Jakarta (ANTARA) -
Ketua Forum Komunikasi dan Aspirasi MPR RI untuk Papua (MPR RI For Papua) Yorrys Raweyai menduga kelompok kriminal bersenjata (KKB) sedang memecah belah kehidupan masyarakat yang berangsur harmonis di Papua.
 
"Saya menduga aksi-aksi KKB sedang memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat Papua dalam bingkai NKRI," kata Yorrys dalam Diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk "KKB Papua Kembali Berulah, di Mana Kehadiran Negara?" di Media Centre DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu.

Menurut Yorrys, tanpa tindakan tegas dari pemerintah, sinergi sosial kemasyarakatan yang terjalin selama ini akan menyusut dan boleh jadi berubah menjadi kebencian dan permusuhan sesama warga
 
Sinergi sosial kemasyarakatan antara masyarakat umum dan orang asli Papua (OAP), kata dia, hendak dicabik-cabik dengan tujuan membangun suasana kebencian dan permusuhan antaranak bangsa.
 
"Hal ini menjadi bagian dari isyarat perlawanan dan penolakan atas berbagai kebijakan positif pemerintah yang sejatinya mulai berdampak baik bagi masyarakat Papua," kata politikus Partai Golkar ini.
 
Aksi kekerasan demi kekerasan oleh KKB berujung tewasnya puluhan warga di Kampung Nogolait, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua, Sabtu (16/7).
 
Insiden ini menambah daftar peristiwa kekerasan di wilayah paling timur Indonesia itu, khususnya di wilayah-wilayah konflik, termasuk Nduga.
 
Dapat diduga kuat aksi-aksi KKB akhir-akhir ini, kata Yorrys, terfokus pada wilayah-wilayah konflik di Papua yang tidak hanya menyasar orang asli Papua, tetapi juga masyarakat umum yang selama ini mencari nafkah sebagai pekerja maupun sebagai pemukim dengan berbagai mata pencaharian lainnya.
 
"Ada kesan bahwa KKB sedang melancarkan teror dengan menyasar para penduduk yang bukan hanya OAP, melainkan juga masyarakat umum, termasuk masyarakat pendatang yang sedang bermukim dan mencari nafkah di Papua," ujarnya.
 
Anggota DPD RI dari Dapil Papua ini juga menyatakan bahwa aksi KKB pimpinan Egianus Kogoya ini sudah sangat meresahkan dan mengancam keutuhan NKRI.
 
"Di tengah upaya pemerintah dan masyarakat Papua dalam membangun Papua melalui Otusus Jilid II, Egianus Kogoya dan anggotanya memperkeruh tatanan baru yang hendak dibangun bersama-sama," kata Yorrys.

Baca juga: Koalisi Kemanusiaan Papua paparkan solusi untuk redam eskalasi konflik
Baca juga: Anggota DPR minta TNI/Polri ubah pola pemberantasan KKB di Papua
 
Ia mengatakan bahwa kejadian Nduga ini bukan pertama kali. Belum lagi aksi-aksi sporadis lainnya. Atas dasar itu, Ketua Komite II DPD RI ini meminta Pemerintah melalui aparat yang berwenang secara serius dan konsisten memberangus KKB hingga ke akar-akarnya.
 
Hal itu, kata dia, mendesak dalam rangka menjaga situasi kondusif di Tanah Papua serta menjamin agar akselerasi perubahan melalui serangkaian kebijakan sebagai turunan Otsus Jilid II dapat berlangsung dengan baik.
 
"Pemerintah melalui aparat yang berwenang harus mengambil langkah-langkah terukur dan terencana yang mampu mengembalikan kepercayaan publik Papua dan menjamin tatanan kehidupan yang aman dan kondusif dalam merespons teror demi teror oleh KKB," kata putra kelahiran Serui, Papua ini.
 
Anggota Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno berpandangan penyelesaian masalah Papua harus secara komprehensif, bukan hanya dengan pendekatan angkat senjata.
 
"Hal ini perlu usaha-usaha pemerintah melakukan bukan hanya pendekatan ekonomi, melainkan kultural hingga agama. Ini perlu kita dukung agar pemerataan pembangunan akses pendidikan terus berjalan sehingga ada masyarakat Papua yang ready ke dunia tenaga kerja dan ini harus dilakukan secara berkesinambungan," kata Dave.
 
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Arsul Sani berpendapat bahwa masalah di Papua harus lewat pendekatan hukum, bukan semata-mata militer.
 
Ia mengemukakan bahwa Papua dengan segala kompleksitas sosial demografinya harus mengedepankan pendekatan penanganan konflik sistematis.

"Harus diakui menyelesaikan Papua jauh lebih rumit ketimbang Aceh, bahkan Timor Timur. Pendekatannya hukum, bukan militer," kata Arsul menegaskan.
 
Bukan kali pertama, sebelumnya pada tahun 2018, aksi kekerasan di Nduga menewaskan 17 orang pekerja Istaka Karya yang sedang membangun proyek jembatan di Kali Yigi dan Kali Aurak, serta puluhan orang lainnya dinyatakan hilang.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022