Para pemimpin bisnis yang kami temui menyatakan tertarik untuk berinvestasi dalam proyek-proyek hijau Indonesia.
Jakarta (ANTARA) -
Presidensi G20 Indonesia melakukan berbagai pembahasan agenda penting di dunia, salah satunya terkait perubahan iklim yang harus segera ditangani agar tidak merugikan masyarakat dunia lebih lanjut.
 
Selain menimbulkan berbagai bencana alam, perubahan iklim juga dapat mengurangi produksi bahan pangan yang pada gilirannya dapat mengakibatkan krisis pangan.
 
Dalam pertemuan ketiga menteri keuangan dan gubernur bank sentral (Finance Minister and Central Bank Governor/FMCBG) G20 di Bali pada 16-17 Juli 2022, salah satu yang  dibahas adalah keuangan berkelanjutan untuk membiayai proyek-proyek pengentasan perubahan iklim.
 
Anggota G20 menggarisbawahi peran penting keuangan berkelanjutan untuk pemulihan ekonomi global yang lebih hijau, tangguh, dan inklusif dalam rangka mencapai target pembangunan berkelanjutan pada 2030.
 
Pembahasan mengenai pembiayaan berkelanjutan menjadi penting mengingat dibutuhkan setidaknya 1 sampai 4 triliun dolar AS per tahun untuk negara-negara berkembang mengurangi emisi karbon, menurut catatan Bank Dunia.

Baca juga: Menlu Retno: Persiapan KTT G20 terus berjalan
 
Salah satu sektor yang didorong untuk mengurangi karbon adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang diharapkan dapat dipensiunkan dini mulai 2030.
 
Untuk menyediakan listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia membutuhkan setidaknya 243 miliar dolar AS atau sekitar Rp3.500 triliun yang sekaligus akan menuntaskan target konstribusi yang ditentukan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) Indonesia dari sektor ketenagalistrikan.
 
Negara-negara G20 juga didorong untuk mengembangkan pembiayaan campuran yang berasal dari pemerintah, pelaku usaha swasta, dan donor internasional guna menutupi kebutuhan tersebut.
 
Pada 14 Mei 2022  Indonesia meluncurkan country platform untuk Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM) bersama dengan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) sebagai pengatur.
 
Country platform ini akan menjadi kerangka yang menyediakan kebutuhan pembiayaan untuk mempercepat proses transisi energi nasional dengan memobilisasi dana yang bersumber dari publik dan swasta secara berkelanjutan.
 
Sumber investasi country platform Indonesia akan berasal dari pembiayaan campuran, termasuk pelaku usaha swasta, filantropis, lembaga pembangunan bilateral atau multilateral, dan lembaga pembiayaan iklim, yang kemudian dikelola oleh PT SMI.
 
Sumber pembiayaan tersebut misalnya berasal dari Aliansi Pembiayaan Glasgow untuk Nett Zero dan SDG Indonesia One (SIO).

Baca juga: Periset: Ekonomi hijau bisa diterapkan di industri kecil hingga besar
 
Dengan peluncuran country platform tersebut, semakin banyak peluang bagi pelaku usaha swasta untuk turut dalam pembangunan berkelanjutan.
 
Wakil Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri yang juga Chair of B20 Indonesia Shinta Kamdani mengatakan pihaknya telah melakukan penjajakan kerja sama bisnis dengan calon investor global untuk berbagai sektor ekonomi hijau potensial, seperti energi baru dan terbarukan.
 
"Para pemimpin bisnis yang kami temui menyatakan tertarik untuk berinvestasi dalam proyek-proyek hijau Indonesia," katanya, Kamis.
 
Salah satu skema yang akan menjadi magnet bagi para investor pelaku usaha swasta ialah Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) karena investor nantinya dapat turut dalam pengelolaan properti milik pemerintah.
 
Selain itu, dengan skema ini, tingginya risiko dari proyek-proyek berkelanjutan bisa dikurangi oleh pemerintah melalui pemberian fasilitas seperti penjaminan proyek, pembayaran atas layanan, hingga insentif perpajakan.
 
"Karena banyak proyek investasi berkelanjutan yang high cost, bisa saja dinilai secara finansial tidak feasible, tetapi layak secara ekonomi. Untuk itu sektor swasta memerlukan dukungan viability gap fund, dana yang yang diberikan pemerintah pada sektor swasta melalui KPBU guna meningkatkan kelayakan finansial proyek pembangunan," imbuhnya
 
Namun demikian, pemerintah juga perlu menuntaskan kendala lain yang dihadapi investor swasta yang hendak terlibat dalam pembiayaan berkelanjutan, seperti kendala regulasi serta perencanaan tata ruang wilayah dan daerah yang belum maksimal.
 
Pelaku usaha sebagai investor swasta tentu saja mengharapkan proyek hijau berkelanjutan yang bankable, based on market needs, layak dari segi teknis dan komersial, memberi manfaat ESG terukur, serta memberi keuntungan finansial.

Baca juga: Airlangga: Ekonomi biru berpotensi ciptakan jutaan lapangan kerja
 
Sosialisasi untuk membuat pembiayaan berkelanjutan lebih familiar bagi pelaku usaha swasta, terutama pelaku di dalam negeri, juga perlu terus dilakukan, termasuk dengan menyelaraskan indikator proyek yang disebut hijau dengan ukuran global.
 
Insentif juga perlu diberikan untuk sektor-sektor industri yang terlibat dalam pembiayaan dan pembangunan proyek-proyek berkelanjutan.
 
Selain itu, untuk mempercepat capaian NDC, pelaku usaha swasta juga bisa didorong untuk memanfaatkan teknologi yang lebih ramah lingkungan.
 
Sekalipun saat ini teknologi ramah lingkungan masih terbentur dengan biaya yang tinggi, menurut
 
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan terobosan agar biaya teknologi hijau lebih rasional dan pengembangan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) industri bisa mendorong pelaku usaha mengadopsi teknologi hijau.
 
Percepatan proyek berkelanjutan memerlukan kolaborasi pemerintah dan dunia usaha sehingga insentif kepada dunia usaha yang terlibat dalam proyek hijau dan menggunakan teknologi ramah lingkungan tentu diperlukan, baik insentif pajak, misalnya yang membebaskan bea masuk untuk mesin berteknologi ramah lingkungan hingga pemotongan pajak.
 
"Lalu bisa juga melalui dukungan fiskal berupa jaminan dana dari pemerintah. Faktor lainnya adalah kepastian hukum bagi keamanan dan kenyamanan berinvestasi, tidak hanya di level pusat tapi juga daerah yang memerlukan sinkronisasi aturan hukum," katanya.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022