Sekarang Indonesia memiliki sektor keuangan yang bagus, kebijakan secara umum kondisinya juga baik, tools lebih banyak, financial instrument lebih banyak
Jakarta (ANTARA) - "Sepanjang sejarah perekonomian belum pernah dalam sejarah, inflasi Indonesia lebih rendah daripada inflasi Amerika Serikat," kata guru besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Miranda Gultom, dalam sebuah kuliah umum di Lembaga Ketahanan Nasional, sepekan silam.

Faktanya memang begitu. Sampai Juni lalu, inflasi tahunan Indonesia mencapai 4,35 persen.

Memang tertinggi dalam lima tahun terakhir, namun angka itu jauh lebih rendah dibandingkan inflasi Amerika Serikat yang dalam periode sama memiliki tingkat inflasi 11,3 persen.

Baca juga: BI mewaspadai risiko kenaikan inflasi lewat operasi moneter

Angka inflasi AS itu juga yang paling tinggi dalam 40 tahun terakhir sejak mencapai 14 persen pada Juni 1980.

Dalam hal laju inflasi sebelum dan semasa pandemi pun Indonesia lebih baik ketimbang AS dan hampir seluruh negara maju.

Analisis lembaga riset bergengsi Amerika Serikat, Pew Research Center, pada Juni 2022 menguatkan pandangan itu.

Membandingkan tingkat inflasi triwulan pertama 2022 dengan triwulan pertama 2000 di 44 negara yang terdiri dari 37 negara OECD (Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi) yang rata-rata negara maju dan tujuh negara pasar ekonomi berkembang, Pew Research mendapati fakta bahwa tingkat inflasi naik drastis dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Bahkan, dua negara (Israel dan Yunani) naik 20-25 kali lipat, satu negara (Italia) naik hampir 20 kali lipat, dan dua negara (Spanyol dan Portugal) naik 10-15 kali lipat.

Sisanya, naik paling sedikit dua kali lipat. Tetapi Indonesia dan China menjadi dua negara dengan kenaikan inflasi paling rendah di antara 44 negara yang disurvei Pew Research itu, termasuk Amerika Serikat.

Inflasi adalah indikator utama bagaimana sebuah sistem perekonomian mengendalikan harga.

Inflasi memang tak selalu buruk karena inflasi yang moderat bermanfaat bagi perekonomian karena bisa merangsang belanja. Dalam kondisi ini, bank sentral di seluruh dunia biasanya memasang target inflasi tahunan 1-3 persen.

Namun manakala kenaikan inflasi di atas level itu, pergerakan harga menjadi cenderung sulit dikendalikan untuk kemudian mengikis daya beli konsumen yang membuat dunia usaha tak bisa berinvestasi dan akhirnya menggerus pertumbuhan ekonomi.

Inflasi tinggi selalu berkorelasi dengan mandeknya pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah seluruh dunia selalu memitigasi inflasi. Jika inflasi terjadi karena tingginya permintaan tetapi pasokan rendah, maka bank sentral menaikkan suku bunga guna mengerem belanja dan sebaliknya mendorong masyarakat menabung.

Tapi tujuan akhirnya adalah mengendurkan tekanan terhadap rantai pasokan yang kelebihan beban. Cuma, langkah ini bisa menciptakan resesi karena dunia usaha lumpuh akibat daya beli masyarakat yang menurun.

Sebaliknya, jika tujuannya merangsang ekonomi agar bergerak kembali, otoritas meluncurkan paket stimulus dalam jumlah besar seperti terjadi selama pandemi.

Namun akibatnya, dunia usaha tak bisa memenuhi permintaan sehingga menimbulkan krisis pasokan yang mendorong inflasi naik seperti terjadi belakangan ini.

Baca juga: Inflasi Malaysia naik 3,4 persen pada Juni 2022


Masih batas aman

Negara-negara yang mengalami kenaikan inflasi tinggi rata-rata memang mengeluarkan paket stimulus luar biasa besar selama pandemi, guna menutup dampak terhentinya kegiatan usaha akibat kebijakan-kebijakan terkait pembendungan pandemi COVID-19.

Uniknya, hal ini tak begitu terjadi di China dan Indonesia. Lebih unik lagi, dua negara ini menerapkan strategi anti-pandemi COVID-19 yang satu sama lain berbeda.

China begitu ketat sampai disebut terlalu kejam, sedangkan Indonesia mengontrol pandemi dengan lentur sehingga tak menghentikan roda usaha.

Tapi kedua negara ini malah berhasil mengendalikan harga sehingga inflasi bisa dikelola tetap pada tingkat yang rendah.

Manakala dunia terancam resesi, kedua negara ini menjadi salah satu dari sedikit negara yang relatif pejal dari ancaman resesi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani secara implisit mengungkapkan langkah-langkah yang membuat Indonesia tidak terlalu terancam resesi, dengan mengungkapkan faktor-faktor yang membuat sebuah negara masuk jurang resesi.

Dia menyebut kondisi neraca pembayaran, pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, kebijakan moneter, kondisi APBN termasuk rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), kondisi rumah tangga, dan korporasi.

Sri Mulyani sebenarnya berbicara untuk dunia ekonomi secara keseluruhan, tetapi faktor-faktor yang disebutnya itu jelas menjadi alasan-alasan mengapa ekonomi Indonesia lebih baik dari rata-rata dunia.

Mari kita cermati empat dari beberapa hal yang disebut Sri tersebut. Mulai dari neraca pembayaran.

Pada matra ini, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan pertama 2022 memang defisit 1,8 miliar dolar AS, tapi surplus transaksi berjalan terus berjalan.

Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir Maret 2022 mencapai 139,1 miliar dolar AS atau setara dengan pembiayaan tujuh bulan impor dan utang luar negeri pemerintah. Angka itu juga di atas standar kecukupan internasional.

Dari sudut pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga menunjukkan kinerja terbilang masih kemilau. Sekalipun mengalami kontraksi 0,96 persen dibandingkan triwulan pertama 2021, pertumbuhan ekonomi tahunan Indonesia pada triwulan 2021 mencapai 5,01 persen.

Angka ini masih jauh lebih baik dari rata-rata dunia, bahkan di atas kebanyakan negara maju dan kebanyakan negara perekonomian berkembang lainnya.

Bank Dunia sendiri memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1 persen sampai akhir 2022. Alasannya, Indonesia mendapatkan sokongan kuat dari pertumbuhan ekspor komoditas dan kebijakan fiskal yang akomodatif terhadap situasi-situasi akibat pandemi.

Lalu, bagaimana kondisi APBN dan rasio utang? Data terakhir 31 Mei 2022 menunjukkan posisi utang Indonesia mencapai Rp 7.002,24 triliun atau 38,88 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut Kementerian Keuangan rasio utang sebesar ini "masih dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiring dengan diversifikasi portofolio yang optimal."

Baca juga: BI proyeksi inflasi domestik tahun 2022 capai 4,6 persen


Tak lagi rentan

Jika melihat komposisi dan bentuk utang Indonesia ini, memang tak terlalu mengkhawatirkan karena berbeda dengan masa silam seperti saat krisis moneter 1998, mayoritas utang Indonesia saat ini berasal dari penjualan obligasi negara atau Surat Berharga Begara (SBN). Porsinya mencapai 80-an persen. Hanya 15-20 persen berupa pinjaman.

Jika melihat dari denominasinya, sebagian besar utang pemerintah pusat berbentuk rupiah, mencapai 67 persen.

Situasi ini membuat perekonomian Indonesia relatif tahan dari fluktuasi mata uang global seperti terjadi dalam krisis moneter 1998.

Otoritas keuangan Indonesia juga bisa menutup upaya-upaya spekulatif tanpa terlihat mengambil kebijakan yang protektif yang mengesankan anti-pasar.

Semua itu tergambar oleh cukup tangguhnya ekonomi Indonesia dalam menghadapi krisis energi dan krisis pangan global yang membuat banyak negara bertumbangan.

Situasi ini membuat Indonesia lebih independen dalam menanggapi kecenderungan global, seperti tak ikut-ikutan tren menaikkan suku bunga yang tengah terjadi di dunia.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo beralasan, kenaikan suku bunga tidak dilakukan karena melihat inflasi inti masih dalam batas aman. Inflasi inti pada Juni mencapai 2,63 persen.

"Keputusan suku bunga didasarkan perkiraan inflasi ke depan, khususnya inflasi inti dan implikasinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Inflasi inti masih di batas sasaran 2 persen-4 persen, dalam arti belum melebihi 4 persen," kata Perry Warjiyo.

Langkah terukur nan cermat dari Bank Indonesia ini menjadi contoh dari faktor yang membuat sebuah negara sulit terjerembab dalam resesi seperti disebut Sri Mulyani, yakni kebijakan moneter yang tepat.

Tetapi di atas itu semua, ini buah dari koordinasi dan kolaborasi yang harmonis antar pengambil kebijakan, terutama otoritas moneter dan otoritas fiskal, yang membuat perekonomian Indonesia dikelola dengan baik.

Utang yang meskipun besar pun dikelola dengan baik dengan mengupayakan proporsi dan komposisinya berada pada tingkat yang wajar nan terukur sehingga ketika terjadi guncangan eksternal tidak menggoyahkan keseluruhan perekonomian nasional.

Tak mengherankan jika Miranda Goeltom berkata, "saya merasa karena Indonesia tidak rentan seperti dulu. Sekarang Indonesia memiliki sektor keuangan yang bagus, kebijakan secara umum kondisinya juga baik, tools lebih banyak, financial instrument lebih banyak."

Apakah Indonesia harus berpuas diri? Tentu saja tidak. Justru semua langkah ini menggambarkan otoritas fiskal dan moneter Indonesia sudah siap dan selalu meningkatkan kesiapan dalam menghadapi berbagai situasi.

Di sini, Indonesia terlihat tak saja sudah tahu obat untuk penyakit yang bakal menyerang, namun juga mengetahui karakter penyakit itu.

Yang juga mengesankan adalah koordinasi di tingkat pembuat kebijakan dibuat tanpa menutup-nutupi tren buruk yang terjadi di dunia saat ini seperti wanti-wanti Sri Mulyani mengenai bahaya resesi.

Ini adalah bentuk bersiap menghadapi keadaan terburuk tapi selalu berusaha mencapai yang terbaik. Ini mungkin filosofi Indonesia mengendalikan gejolak harga.

Baca juga: BI pertahankan suku bunga 3,5 persen karena inflasi inti masih terjaga
Baca juga: ADB potong proyeksi pertumbuhan negara berkembang Asia jadi 4,6 persen

Copyright © ANTARA 2022