Banyumas, (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Ir Suswono, MMA menyatakan, keterlambatan pemulihan hutan sekarang ini diperparah dengan adanya kebijaksanaan Departemen Kehutanan (Dephut) "soft landing", yaitu kebijaksanaan mengurangi penebangan hutan secara bertahap (pelan-pelan). "Kebijaksanaan `soft landing` ini berakibat kronisnya penggundulan hutan," kata Suswono yang juga selaku Pembina Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Watch di kawasan wisata Baturraden, atau jaraknya kurang lebih 14 km dari Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Minggu. Dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, dia menilai Dephut belum berhasil seluruhnya. Sebagai contoh sejak dicanangkan pada 1985 tercatat ada 161 perusahaan yang mendapatkan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). "Tujuan utamanya adalah melakukan rehabilitasi hutan," katanya menegaskan. Namun pada kenyataannya, kata dia, dari target seluas 6,2 juta hektare selama 15 tahun baru terealisasi 2,5 juta ha, dengan menyedot dana reboisasi (DR) sebesar Rp2,342 triliun. "Realisasi ini pun diragukan," katanya menyangsikan data tersebut. Apalagi, lanjut dia, dengan kegiatan penghijauan yang diperkirakan hanya mampu memberikan kontribusi seluas 50 ribu-100 ribu ha/tahun, tidak akan mampu memulihkan kembali hutan yang telah rusak. Dalam sarasehan nasional bertema "Peningkatan Kapasitas dan Pengembangan Peran Kader Petani Peduli Lingkungan di Lereng Gunung Slamet" yang diselenggarakan PSDA Watch, dia mengemukakan bahwa program rehabilitas hutan dan lahan harus dijadikan bagian dari kebutuhan masyarakat. "Hal itu dapat dicapai, apabila semua stakeholders yang berkepentingan dengan sumber daya hutan dapat dilibatkan dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan pada tahapan pengendalian," katanya. Ia berpendapat, rehabilitasi hutan membutuhkan pendekatan sistem yang komprehensif. "Keberhasilannya tergantung pada penguasaan karakter hutan dan faktor-faktor lainnya," katanya. Faktor pendukung yang menurut dia penting adalah ketersediaan bibit tepat waktu, tingkat penerimaan masyarakat, kebijaksanaan dalam sistem pengelolaan hutan, dan sistem kelembagaan. Di samping faktor kelembagaan yang menyangkut batasan kewenangan, aturan main, dan organisasi. Ia lantas memaparkan pelbagai pendekatan rehabilitasi hutan, antara lain perencanaan rehabilitas hutan menggunakan DAS (Daerah Aliran Sungai) sebagai unit analisis keberhasilan yang menyangkut "on site", "off site cost" dan "benefit". "Ditentukan terlebih dahulu tujuan rehabilitasi hutan dan lahan, apakah untuk tujuan tata air, tujuan produksi kayu dan bukan kayu termasuk `carbon trade` melalui CDM (Clean Development Mechanism), serta tujuan konservasi," katanya. Pendekatan lainnya, yakni pemanfaatan potensi masyarakat lokal dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tidak mengandung risiko ekologi terutama pada hutan lindung, suaka alam, dan taman nasional. Pendekatan rehabilitasi hutan ini juga mencakup "cost sharing", di mana investasi yang dimiliki masyarakat seperti tenaga kerja dapat dihitung sebagai biaya. Selain itu, lanjut dia, penguasaan struktur dan proses konflik di suatu kawasan hutan, di mana pemerintah bertindak sebagai regulator, LSM sebagai fasilitator, dan masyarakat sebagai pelaku utama, sehingga diperoleh kawasan hutan yuang berstatus "clear and clean". Suswono juga memandang perlu pembenahan sistem administrasi keuangan dan penyelenggaraan rehabilitas hutan dan lahan berdimensi lintas sektoral, di samping pendekatan pendanaan yang bersifat "multi years", dan penciptaan kondisi yang bersifat komunikasi dua arah antara individu maupun kelompok dalam organisasi kehutanan di pusat dan di daerah, serta organisasi pelaksana di lapangan.(*)

Copyright © ANTARA 2006