Jakarta, (ANTARA News) - Memperingati Hari Air Sedunia yang jatuh pada 22 Maret, Coca-Cola bersama United States Agency International Development (USAID) Indonesia di Cibitung, Senin (20/3) meluncurkan program Community Watershed Partnership yang diberi nama "Cinta Air". "Target program ini adalah memberikan akses air minum yang aman untuk sekitar 25.000 orang penduduk yang bermukim di wilayah Cibitung," kata Progam Spacialist USAID Indonesia Trigeany Linggoatmodjo seusai acara yang berlangsung di Pabrik Nasional PT Coca Cola Bottling, Cibitung-Bekasi. Langkah awal progam tersebut adalah dengan mengajak beberapa siswa SMU di Bekasi dalam Safari Air (19-20 Maret). Sekitar 40 remaja dari empat sekolah (SMU 2, Yayasan Pendidikan Islam/YPI `45, Al Azar, dan SMU 6) mengadakan penyusuran aliran sungai Citarum dari hulu hingga hilir, yaitu mata air Cikundul, waduk Jati Luhur, dan sungai Citarum Barat atau Kalimalang. "Kami mengambil sampel air, menganalisanya. Dari sana kami tahu bahwa sudah terjadi pencemaran di hulu, misalnya dari kandang sapi. Selain itu terjadi juga pengurangan jumlah sumber mata air setiap tahunnya akibat kerusakan lingkungan," kata Faid Lurrohman siswa kelas dua dari SMU YPI `45. Menurutnya, dengan program semacam itu, generasi muda akan semakin menyadari pentingnya air bagi kehidupan. Selain itu, ia dan teman-temannya juga dapat mempraktekkan ilmu dan teori yang mereka terima di sekolah. Sebagai penyelenggara, USAID dan Coca-Cola berharap setelah mendapatkan pengetahun mengenai kondisi air dari hulu hingga hilir, para siswa dapat semakin menyadari penting dan berharganya air bersih dan menjadi teladan bagi komunitas di sekitarnya dalam efisiensi air. Setelah program untuk anak SMU, kegiatan program "Cinta Air" akan dilakukan secara terintegrasi kepada komunitas Bekasi terutama masyarakat di empat desa sekitar pabrik Coca Cola di Cibitung serta daerah resapan air hulu sungai Citarum, termasuk mata air Cikundul di Kelurahan Cimacan, Kecamatan Cianjur. "Anak SMA ini adalah para peneliti muda yang potensial, masa depan ketersediaan air bersih negara Indonesia ada di tangan mereka. Selanjutnya program ini juga akan diluaskan untuk masyarakat. Kerjasama lainnya selain dengan Coca Cola yang telah melakukan efisiensi air, tahap selajutnya mungkin juga akan melibatkan pabrik-pabrik lain. Tidak bisa dilakukan sekaligus, semuanya bertahap," kata kapala USAID Basic Human Services Program Herbie Smith. Inisiatif penyelenggaraan program Community Watershed Partnership sendiri datang dari USAID Washington dan Coca-Cola Atlanta, Amerika Serikat. Mereka memberikan dana 2,5 juta dolar AS (USAID: 1,5 juta dan Coca-Cola 1 juta). Dana tersebut ditawarkan pada USAID di negara-negara berkembang yang bekerjasama dengan perusahaan Coca-Cola di wilayah setempat untuk mengembangkan program ketersediaan air bersih. "Coca-cola tertarik untuk melakukan kerjasama dengan USAID dalam program ini karena air merupakan bahan baku kami sebagai perusahaan minuman. Dengan mendorong dan memotivasi masyarakat Bekasi untuk peduli terhadap penggunaan air bersih, pihak kami akan diuntungkan. Ketersediaan air bersih akan dapat berjalan dengan baik dan kami tidak kesulitan memperoleh bahan baku," ujar Ketua Dewan Pengarah Coca-Cola Foundation Indonesia dan Presiden Komisaris PT Coca-Cola Bottling Indonesia Mugijanto. Indonesia adalah negara ketiga yang menerima dana tersebut setelah negara Mali di Afrika Selatan dan Bolivia di Amerika Selatan pada 2004. Dua negara tersebut menerima 500 ribu dolar AS, sementara Indonesia menerima 250 ribu dolar AS. Jumlah dana untuk Indonesia kemungkinan akan bertambah sesuai dengan dua negara sebelumnya. Perbedaan tersebut menurut pihak USAID dikarenakan adanya masalah intern kantor USAID Indonesia. Rencananya program tersebut akan berjalan selama satu tahun. Bila hasilnya memuaskan, pihak pemberi dana akan meneruskan program tersebut lebih lanjut dengan meluaskan cakupan wilayah. Masalah ketersediaan air bersih menjadi penting untuk segera ditangani karena saat ini Indonesia berada pada urutan ketiga di dunia dalam ketegori jumlah penduduk yang belum memiliki akses terhadap air bersih. Sementara itu, diare akibat sanitasi yang buruk adalah penyebab kematian terbesar kedua bagi anak-anak di bawah usia lima tahun dengan tingkat kematian 100.000 per tahun. Problem itu sangat nyata di daerah perkotaan dan pinggiran kota seperti Bekasi yang saat ini berkembang dengan pesat. Data survey yang dimiliki USAID menunjukkan, beberapa isu utama yang mengakibatkan hal tersebut, yaitu kurangnya pemahaman masyarakat atas pentingnya konservasi dan proteksi sumber daya air; kualitas air di Kanal Citarum Barat dan sumur-sumur dangkal penduduk yang masih belum memadai untuk memperoleh air bersih. Selanjutnya fluktuasi jumlah debit air yang tergantung pada musim, sehingga pada musim tertentu masyarakat mengalami kekurangan pasokkan air bersih; serta deforestasi yang terjadi di daerah resapan air hulu sungai Citarum yang mempengaruhi tingkat kualitas dan kuantitas air. Program "Cinta Air" diharapkan akan dapat mengatasi masalah-masalah tersebut dengan meningkatkan pemahaman masyarakat atas pentingnya kegiatan konservasi air, termasuk penanaman pohon untuk menjaga dan melindungi sumber daya air; meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat melalui edukasi kesehatan dan gaya hidup sehat terkait dengan air dan sanitasi. Juga memberdayakan komunitas untuk meningkatkan kualitas air melalui metode dan pendekatan yang mudah untuk meningkatkan, melindungi, dan memonitor kualitas air; serta dengan meningkatkan kesadaran pihak-pihak terkait agar memahami dan berkomitmen untuk menjaga persediaan air untuk jangka panjang. (*)

Copyright © ANTARA 2006