Semarang, (ANTARA News) - Sekitar 80 orang yang tergabung dalam Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) yang didukung Sekretariat Bersama Organisasi Jateng, Selasa (21/3) menggelar aksi unjuk rasa di kantor DPRD Jateng menuntut penghentian degradasi hutan. Menurut pengunjuk rasa yang terdiri atas 27 organisasi tani se-Jateng, degradasi hutan dan deforestasi jika dibiarkan akan menimbulkan kerugian bagi kalangan masyarakat, lingkungan, dan ekosistem di Jateng, sehingga masalah itu harus mendapat perhatian serius. Kerusakan hutan secara nasional kini diperkirakan mencapai seluas 900 ribu hektare setiap tahunnya yang disebabkan adanya kegiatan perkebunan 500 ribu hektare per tahun, kegiatan proyek pembangunan 250 ribu hektare per tahun, kegiatan logging 80 ribu hektare per tahun, dan kebakaran 70 ribu hektare per tahun. Pengunjuk rasa mengatakan, selama 12 tahun (1985-1997) angka degradasi dan deforestasi untuk Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulwesi mencapai 1,6 juta hektare per tahun sebagai akibat penebangan liar, pencurian kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan, lahan, kebun, dan sistem pengelolaan hutan yang kurang tepat. Tidak jauh berbeda, kata Agus Waranto (38) seorang pengunjuk rasa, kondisi hutan di Jateng sekarang ini sangat memprihatinkan, karena terjadi perusakan hutan, dan lahan hutan secara membabi-buta yang dilakukan perorangan, perusahaan, dan instansi tanpa disertai rasa tanggung jawab. "Deforestasi tidak menambah kesejahteraan masyarakat, tetapi malah merusak lingkungan hidup, karena hasil yang diambil nilainya tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan," katanya. Namun, kondisi demikian ternyata tak membuat surut Perhutani melakukan operasi dengan fasilitas mewah. Kemegahan Perhutani berada di atas kemiskinan rakyat/petani, sedangkan pemerintah (Dinas Kehutanan) tak bisa berkutik, karena malah menjadi bagian dari pihak yang terus menggerogoti kekayaan alam dan membiarkan rakyat menderita di lahannya sendiri. Ia mengatakan, beberapa kasus proyek hak guna usaha (HGU) di beberapa tempat yang dilakukan pihak perusahaan perkebunan yang berlindung di bawah Dinas/Departemen Kehutanan terbukti tidak menyejahterakan petani, tetapi malah sebaliknya mereka bertambah kaya. Proyek Taman Nasional Merapi dan Merbabu (TNMM) yang kini lagi digencarkan Dinas Kehutana jateng nantinya akan menambah persoalan baru, sedangkan persoalan lama belum dirampungkan," katanya. Oleh karena itu, pengunjuk rasa meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan HGU untuk perkebunan yang sudah beroperasi, mengevaluasi Perhutani yang selama ini tak membela kepentingan petani, membuka kembali kasus-kasus pencaplokan tanah rakyat oleh perhutani yang selama ini sengaja dikaburkan. Selanjutnya menghentikan semua proyek lain yang terang-terangan merusak hutan, merugikan petani hutan, melanjutkan kebijakan yang berorientasi pada rakyat, dan petani miskin, sehingga deforestasi/degradasi hutan berhenti.(*)

Copyright © ANTARA 2006