Jakarta (ANTARA) - Bagi generasi yang lahir antara tahun 1980-1990-an, tentu tidak asing dengan film bertema perjuangan kemerdekaan. Film-film dengan latar sejarah tersebut banyak menghiasi layar kaca terutama jelang momentum hari kemerdekaan.

Salah satu aktor yang terkenal kerap membintangi film sejarah kemerdekaan ialah Barry Prima. Beberapa film yang dibintanginya memang terlihat begitu menonjolkan aspek heroisme yang terkadang tidak benar-benar bertolak dari data sejarah.

Hal ini karena film-film kemerdekaan pada masa itu bertujuan untuk menguatkan nasionalisme anak-anak muda Indonesia dan menghargai jasa para pahlawannya.

Memang pada masa itu sarana pembelajaran sejarah masih terbilang minim. Literasi sejarah hanya bertumpu pada pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Karena itu, adanya film bertema perjuangan kemerdekaan dianggap sebagai literasi tambahan yang penting untuk para pelajar.

Kini amat jarang ditemui stasiun televisi yang menayangkan secara serentak film heroik semacam itu khususnya ketika momentum jelang hari kemerdekaan. Padahal kuat tidaknya nasionalisme suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh upaya untuk menumbuhkan kesadaran sejarah kita.

Baca juga: Film "Aum!" pertanyakan cita-cita perjuangan reformasi

Baca juga: Sembilan film perjuangan yang bangkitkan semangat kemerdekaan


Kesadaran sejarah

Kesadaran sejarah tentang jerih payah para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak cukup diajarkan hanya melalui buku-buku. Melainkan melalui sarana film yang lebih menarik minat dan perhatian baik para pelajar maupun kalangan umum.

Meskipun buku-buku sejarah memiliki kemampuan mengurai narasi yang detail tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tetapi ada batas-batas tertentu yang tidak cukup untuk dijangkau oleh buku. Misalnya, dalam upaya mengimajinasikan suatu peristiwa sejarah yang memerlukan adanya visualisasi.

Film dalam hal ini mampu menampilkan ragam jenis percakapan serta adegan-adegan dalam setiap peristiwa yang membuat sejarah menjadi hidup. Sejarah pada gilirannya akan dijadikan sebagai titik pijak bagi reimajinasi tentang bagaimana mengisi kemerdekaan dan menghadapi tantangan pada masa kini.

Bagi kalangan sejarawan atau para mahasiswa yang menekuni disiplin ilmu sejarah, keberadaan buku dan arsip sejarah mungkin sudah cukup membantu menguak gagasan dan menunjang berjalannya upaya rekonstruksi sejarah. Tetapi sekali lagi bagi kalangan pelajar dan umum, keberadaan buku atau arsip masih terlalu kering.

Dua sarana itu tidak cukup efektif dalam merangsang imajinasi sejarah. Kalangan umum dan pelajar yang belum tentu mengarahkan minat dan konsentrasi terhadap sejarah sebagai disiplin ilmu memerlukan film yang lebih menghidupkan alur sejarah. Sebab penggalan peristiwa sejarah bangsa ini tidak cukup hanya dengan memutar film G30S PKI/Gestapu yang rutin ditayangkan secara serentak.

Kita perlu mengetahui bahwa derita dan perjuangan sejarah bangsa ini begitu panjang. Derita dan masa kelam yang dialami bangsa ini tidak hanya terjadi pada tahun 1965 tetapi juga terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Kita perlu mengetahui bagaimana upaya para leluhur kita menghadapi peliknya hidup pada masa diterapkannya kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) oleh Gubernur Jendral Johanes van den Bosch.

Lalu bagaimana kita mengetahui dan merasakan getirnya perjuangan para tokoh di daerah-daerah dalam melawan kesewenangan Belanda di tengah minimnya koordinasi antar daerah dan belum terkonsentrasinya perjuangan dalam satu ikatan yang utuh.

Kita juga perlu mengetahui kesulitan-kesulitan yang dirasakan para pejuang pada masa pergerakan nasional yang mengupayakan kemerdekaan di tengah fakta perbandingan persenjataan yang begitu timpang.

Belum lagi bila kita diajak bertamasya pada medio 1940-an, di mana Indonesia saat itu berpotensi untuk diseret ke dalam konflik berskala luas yang ditandai dengan tampilnya hegemoni Jepang di Pasifik.

Kita perlu menyelami apa yang ada dalam pikiran para tokoh bangsa dalam situasi yang bukan main kompleksnya. Bila satu keputusan saja keliru, maka bahaya besar bisa dialami oleh seluruh rakyat.

Hal-hal semacam ini tentu perlu direkam dan disuguhkan lewat narasi sejarah yang hidup. Mengingat begitu banyak penggalan peristiwa sejarah kita yang masih luput dari judul film bertema sejarah.

Baca juga: Sineas Kalbar rilis film pejuang "Passan Terakhir"

Baca juga: Tujuh film perjuangan yang bisa bangkitkan jiwa nasionalisme


Peran pemerintah

Pemerintah perlu mengambil peran untuk kepentingan penguatan sejarah dan nasionalisme. Salah satu pilihan yang mungkin perlu dipertimbangkan ialah mengeluarkan himbauan, bila perlu kebijakan tentang pemutaran film bertema sejarah di sekolah-sekolah dan instansi pemerintahan sampai tingkat paling bawah.

Film-film yang mengangkat tema sejarah itu bisa diputar ketika momentum hari besar nasional seperti hari kemerdekaan. Tetapi yang perlu ditekankan disini ialah bahwa pemerintah tidak dalam kapasitas untuk membenarkan sejarah hanya satu versi saja.

Pemerintah bertindak untuk tujuan menguatkan kesadaran sejarah bangsa lewat edukasi dalam hal ini film sejarah.

Di lain sisi, Indonesia juga memiliki ragam pilihan film-film sejarah yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh pemerintah untuk diputar secara serentak.

Deretan film berlatar sejarah itu misalnya film berjudul Merah Putih (2009), lalu sang Kiai (2013), Jendral Soedirman (2015), film animasi Battle of Surabaya (2015) dan film bertema sejarah lainnya. Pemutaran itu tentu disesuaikan dengan konten film dan momentum hari besarnya.

Menghidupkan kesadaran sejarah melalui pemutaran film yang dilakukan di sekolah-sekolah dan atau tempat umum lainnya bukanlah upaya kolot atau kuno.

Meskipun keberadaan internet memungkinkan siapapun untuk mengakses berbagai film bertema sejarah, tetapi dari aspek kekompakan dan kebersamaan ketika menontonnya akan menimbulkan rasa yang tersendiri.

Mengingat momentum hari kemerdekaan akan tiba, tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk mengeluarkan himbauan nonton bareng film yang mengetengahkan tema perjuangan kemerdekaan.

Semoga dengan begitu kesadaran sejarah kita menjadi terpelihara, dan nasionalisme kita semakin kuat.

*) Hasan Sadeli adalah Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

Baca juga: Mengulik perjuangan buruh dan pekerja melalui film

Baca juga: Resensi film : Moonrise Over Egypt - perjuangan diplomasi Agus Salim

Copyright © ANTARA 2022