PLTP merupakan energi terbarukan yang rendah emisi, tidak terpengaruh cuaca, serta lebih stabil terhadap pengaruh fluktuasi harga bahan bakar fosil
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah mengharapkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) menjadi salah satu prioritas dalam menggantikan energi fosil sekaligus pencapaian net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon di Indonesia.

Hal itu dikarenakan panas bumi merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang dapat menjadi beban dasar (base load) dalam sistem ketenagalistrikan dengan capacity factor yang tinggi yaitu di atas 95 persen.

"Terlebih lagi, PLTP merupakan energi terbarukan yang rendah emisi, tidak terpengaruh cuaca, serta lebih stabil terhadap pengaruh fluktuasi harga bahan bakar fosil," ujar Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

Dadan mengungkapkan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), bagian dari Subholding Power & New Renewable Energy PT Pertamina (Persero), adalah entitas bisnis yang menjadi salah satu motor pengembangan panas bumi.

Apalagi, PGE memiliki pengalaman yang baik dalam pengembangan panas bumi di tanah air dengan dukungan kompetensi SDM yang mumpuni serta pendanaan yang memadai.

"Kegiatan panas bumi pada prinsipnya merupakan kegiatan yang sangat rendah emisi sehingga dengan 672 megawatt (MW) kapasitas terpasang yang dioperasikan sendiri oleh PGE secara tidak langsung telah berkontribusi pada pencapaian NZE yang dicanangkan oleh pemerintah," ujarnya.

Dadan menyebutkan dalam RUPTL 2021-2030 target pengembangan PLTP sebesar 3.355 MW. Pemerintah aktif melakukan monitoring secara berkala terhadap pembangunan PLTP yang masuk dalam daftar RUPTL.

"Kami juga melakukan fasilitasi jika terjadi kendala yang berpotensi mempengaruhi jadwal COD (beroperasi secara komersial) dari masing-masing PLTP dimaksud," katanya.

Data Kementerian ESDM menunjukkan total sumber daya panas bumi di Indonesia mencapai 23,7 GW atau nomor dua setelah Amerika Serikat. Namun, menurut Dadan, sumber daya tersebut harus dipastikan dahulu dengan serangkaian kegiatan eksplorasi panas bumi untuk memastikan cadangan terbuktinya sehingga siap untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan dalam waktu yang panjang lebih dari 30 tahun.

Tahapan eksplorasi panas bumi merupakan tahap yang paling memiliki risiko tinggi karena rasio keberhasilan eksplorasinya kurang lebih 50 persen. Dadan menjelaskan, pemerintah berupaya melakukan percepatan pengembangan PLTP melalui program government drilling untuk beberapa wilayah potensi panas bumi di Indonesia. Hal itu dilakukan berupa pengeboran eksplorasi untuk meningkatkan kualitas atau akurasi data sebelum wilayah panas bumi ditawarkan ke badan usaha.

Selain eksplorasi, banyak tantangan dalam pengembangan energi panas bumi di Indonesia juga cukup menjadi permasalahan di lapangan, antara lain sebagian area prospek panas bumi berada pada Kawasan hutan konservasi dan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS).

Tantangan berikutnya adalah efisiensi biaya pengembangan proyek PLTP untuk meningkatkan daya saing harga listrik panas bumi. Saat ini, teknologi EBT semakin murah sehingga proyek PLTP juga harus dapat tetap kompetitif dengan pembangkit EBT lainnya.

Persoalan lain adalah cadangan panas bumi yang terbukti tidak sesuai dengan perencanaan dan keterbatasan permintaan listrik setempat.

"Belum lagi tantangan lain seperti isu sosial dan perizinan. Pada beberapa lokasi proyek PLTP terdapat resistensi masyarakat," kata Dadan.

Menurut Direktur Utama PGE Achmad Yuniarto, dalam peta jalan pengembangan panas bumi hingga 2060, PGE siap ambil bagian. Apalagi hasil riset WoodMackenzie menyatakan bahwa pertumbuhan panas bumi pada 2030 porsinya mencapai hingga 10 persen dari sebelumnya 6 persen pada 2021. PGE saat ini menyelaraskan rencana jangka panjang PGE dengan rencana jangka panjang Subholding PNRE.

"Mengingat PGE merupakan bagian dari Subholding PNRE, pengembangan panas bumi ke depan tentunya kami sesuaikan dengan aspirasi pemegang saham serta rencana umum energi nasional (RUEN) dan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL)," kata Yuniarto.

PGE saat ini melakukan pengembangan proyek Lumut Balai Unit 2 dengan kapasitas 55 MW dan Hululais Unit 1 & 2 sebesar 110 MW.

"Sebenarnya proyek PLTP membutuhkan lahan yang relatif kecil daripada jenis EBT yang lain. Namun, hal ini membuat kegiatan eksplorasi tidak dapat dilakukan karena terkendala isu pembukaan lahan dan pemakaian air untuk kegiatan pengeboran eksplorasi panas bumi,” katanya.

Menurut Yuniarto, pengembangan panas bumi di Indonesia dapat dilakukan lebih cepat apabila tercipta kolaborasi dan sinergisitas yang harmonis dan baik dari semua pemangku kepentingan yang terkait baik langsung maupun tidak langsung.

"Dengan demikian, kolaborasi yang baik dari semua pemangku kepentingan tersebut akan dapat mempercepat pemanfaatan potensi panas bumi yang ada di Indonesia," ujarnya.

Baca juga: Pertamina tawarkan peluang investasi transisi energi bagi negara G20
Baca juga: Program TJSL Pertamina Geothermal Energy raih penghargaan Bisra
Baca juga: Pakar: Kejar target EBT, pengembangan panas bumi harus jadi prioritas

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022