Jakarta (ANTARA News) - Indonesia mengkhawatirkan kelebihan pasokan baja di China akan membuat negara itu ekspansif melakukan ekspor ke berbagai negara terutama ke Indonesia, sehingga baja Cina semakin membanjiri pasar dalam negeri. Kekhawatiran itu disampaikan Menperin Fahmi Idris dalam simposium "The Indonesian Steel Industry The Future and The Challange," di Jakarta, Kamis, yang dibuka oleh Wapres M Jusuf Kalla. Dikatakan Fahmi, industri baja nasional sangat dipengaruhi situasi di pasar baja dunia. "Saat ini telah terjadi kelebihan pasokan dari Vina sebesar 43 juta ton pada 2005 dan diperkirakan mencapai 116 juta ton pada tahun 2006. Kita khawatir itu akan dipasarkan ke seluruh dunia termasuk Indonesia sehingga akan mengganggu produk baja dalam negeri," katanya. Akibat pasokan berlebih baja CIna yang itu, harga baja lembaran panas (HRC) China hanya berkisar 300 dolar AS per ton. Sedangkan harga HRC Indonesia, terutama yang diproduksi KS berkisar antara 400 sampai 450 dolar AS per ton. Sementara itu, kata Fahmi, kebutuhan baja kasar di dalam negeri terus meningkat dan pada tahun 2005 mencapai 6,5 juta ton. Ia memperkirakan pada 2010 kebutuhan baja Indonesia akan mencapai 10 juta ton. Berdasarkan data Gabungan Produsen Besi Baja Indonesia (Gapbesi) total kapasitas produksi HRC di Indonesia hanya mencapai 2,94 juta ton per tahun, sedangkan baja lembaran dingin CRC mencapai 1,71 juta ton, sehingga untuk memenuhi kebutuhan baja di dalam negeri masih dibutuhkan impor. Tahun 2003 impor HRC dan CRC masing-masing sebesar 635.758 ton dan 424.199 ton. Jumlah tersebut untuk HRC naik dibandingkan tahun 2002 yang impornya sebesar 606.732 ton, sedangkan CRC turun dari impor pada 2002 sebesar 474.031 ton. Oleh karena itu Fahmi mengatakan, perluasan investasi pabrik baja sangat diperlukan untuk permintaan domestik yang terus meningkat. Apalagi konsumsi baja di Indonesia terbilang masih rendah dibandingkan negara di ASEAN lainnya yaitu baru mencapai 29 kilogram per kapita per tahun, dibandingkan Malaysia dan Thailand yang sudah mencapai masing-masing 343 dan 176 kilogram per kapita per tahun. "Kita harapkan pada 2009 konsumsi baja nasional naik menjadi 44 kilogram," katanya. Sementara itu, Chairman SMS Demaq Group, Heinrich Weiss menilai penting bagi Indonesia meningkatkan kapasitas produksi industri bajanya mengingat kebutuhan dan permintaan yang terus meningkat, sehingga bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor baja. Menurut dia, Indonesia memiliki seluruh sumber daya alam yang diperlukan industri baja, mulai dari bijih besi sampai dengan bahan baku energi seperti batu bara dan gas. Ia juga mengakui China sebagai ancaman persaingan yang cukup kuat karena kemampuan ekspor akibat kelebihan pasokan. Sedangkan India bukan ancaman yang besar dalam beberapa tahun ini, karena kapasitas produksinya masih kurang. Wapres M Jusuf Kalla sendiri menekankan kepada BUMN baja, PT Krakatau Steel agar dalam pembangunan pabrik baja baru mendekati sumber daya alam agar bisa biaya produksi efisien dan bisa bersaing. "Selama biaya produksi kita masih tinggi, 400 dolar AS per ton, maka akan sulit menghadapi baja China yang mampu menekan harga sampai 300 dolar AS per ton," katanya. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006