Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia menyatakan tidak bisa menerima keputusan Pemerintah Australia yang telah memberikan visa tinggal sementara kepada 42 warga Papua dan menganggap Canberra menerapkan standar ganda dalam kasus pemberian visa tinggal sementara tersebut. "Pemerintah Indonesia terkejut, kecewa dan sangat menyesalkan keputusan Departemen Imigrasi Australia yang pada tanggal 23 Maret 2006 telah memberikan visa tinggal sementara kepada 42 dari 43 WNI warga Papua pencari suaka," kata Juru Bicara Deplu-RI, Yuri Thamrin, di Jakarta, Kamis malam. Sikap tersebut merupakan pernyataan resmi Deplu RI dan menurut Yuri telah dikonsultasikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keputusan Departemen Imigrasi Australia (DIMA) itu dianggap Jakarta tidak menyenangkan karena sejak awal pemerintah Indonesia, baik melalui Deplu maupun komunikasi langsung Presiden Yudhoyono melalui telpon dengan PM John Howard, telah menegaskan bahwa tidak satupun dari ke-43 warga Papua tersebut yang tengah dikejar oleh aparat. Presiden Yudhoyono beberapa waktu lalu bahkan telah meminta Australia untuk memulangkan 43 warga Papua dan menyatakan jaminan bahwa jika mereka pulang ke Indonesia tidak akan dikenai tuntutan hukum. Keputusan DIMA, kata Yuri, sama sekali tidak memiliki dasar apapun. Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa 43 warga Papua tersebut tidak lebih dari sekedar migran ekonomi yang mencari kehidupan baru yang lebih baik. "Indonesia menyesalkan bahwa klaim tanpa dasar yang diajukan oleh para pencari suaka tersebut telah diterima sebagai alasan pemberian visa tinggal oleh Departemen Imigrasi Australia," kata Yuri, yang juga menjabat sebagai Direktur Asia Timur dan Pasifik. Keputusan pemberian visa tinggal sementara kepada 42 warga Papua itu dinilai Jakarta kontraproduktif, yang sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan dan sensitivitas rakyat Indonesia terhadap isu tersebut. Dalam siaran pers yang juga dikeluarkan oleh Deplu RI pada Kamis malam, dinyatakan bahwa keputusan pemberian visa juga tidak membantu berbagai upaya serius yang saat ini tengah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalah-permasalahan di Papua melalui dialog. "Keputusan itu juga seolah membenarkan spekulasi bahwa ada elemen-elemen di Australia yang membantu gerakan separatisme di Papua dan Pemerintah Australia tidak melakukan tindakan apapun terhadap mereka," tambah Yuri. Selain menyatakan kecewa, Indonesia juga melihat Australia telah menerapkan standar ganda dalam kasus pemberian visa kepada 42 warga Papua. Padahal, kata Yuri, pada banyak kasus sejenis Pemerintah Australia secara keras dan kaku telah menolak permintaan para pencari suaka. "Praktek seperti itu sangat berbeda dengan perlakuan terhadap 42 warga Papua pencari suaka di mana permohonan mereka dikabulkan secara tegesa-gesa dan gegabah," katanya. Jakarta menyatakan keputusan DIMA itu bertentangan dengan semangat kerjasama bilateral RI-Australia, khususnya dalam hal mencegah migran gelap, yang tengah diupayakan kedua negara. Deplu RI telah memanggil Dubes Australia di Jakarta, Bill Farmer, untuk menyampaikan protes dan sikap kecewa Indonesia. Menurut Yuri, Farmer mendatangi kantor Deplu RI di Jalan Taman Pejambon, Jakarta, pada Kamis pukul 12:00 WIB, diterima oleh Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Primo Alui Joelianto. Protes dan sikap kecewa itu juga, menurut Yuri, telah disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda melalui telpon kepada Menlu Alexander Downer pada Kamis pukul 08:00 WIB. Yuri juga mengungkapkan bahwa menurut keterangan yang didapatnya dari Pemerintah Australia, satu dari 43 warga Papua tidak mendapatkan visa karena yang bersangkutan ternyata telah mendapatkan visa dari Pemerintah Jepang. Menurut catatan, `protection visa` yang telah diberikan Pemerintah Australia memungkinkan ke-42 warga Papua tinggal tinggal selama tiga tahun di Australia dan setelah 2,5 tahun visa mereka akan dikaji ulang. Ke42 warga Papua itu sebelumnya ditempatkan di pusat penahanan imigrasi di Christmas Island dengan status sebagai tahanan dan setelah mendapatkan visa `protection` mereka akan dipindahkan ke Melbourne. Jumlah keseluruhan pencari suaka tersebut sebenarnya 43 orang, terdiri atas 30 laki-laki, 6 perempuan dan 7 anak-anak, bertolak dari Merauke, Papua pada Januari 2006 dan beberapa hari kemudian tiba di perairan Cape York, Australia. Keempat puluh tiga warga Papua itu mencari suaka politik ke Australia dengan alasan karena merasa ketakutan dikejar-kejar aparat keamanan. Indonesia telah membantah keras ada pengejaran oleh aparat keamanan, sementara Kapolda Papua beberapa waktu lalu juga telah memastikan bahwa tidak satupun dari 43 warga Papua tersebut yang masuk dalam daftar pencarian orang di Indonesia.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006