Bantul (ANTARA) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar Halaqah Fikih Peradaban, pertemuan yang melibatkan para kiai dan nyai serta pengurus maupun intelektual Nahdliyin, di 250 daerah mulai Agustus hingga Januari 2023.

Ketua Pelaksana Halaqah Fikih Peradaban PBNU, Ulil Abshar Abdalla, di Yogyakarta, Kamis, mengatakan di Yogyakarta halaqah tersebut dimulai di Madrasah Aliyah Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak, dengan tema "Fikih Siyasah NU dan Realitas Peradaban Baru".

"Halaqah di Yogyakarta ini merupakan pembukaan untuk 250 halaqah yang akan diselenggarakan selama sekitar 5,5 bulan ke depan, dari Agustus sampai Januari 2023," kata Ulil dalam pernyataan pers di Yogyakarta, Kamis.

Dia menjelaskan halaqah di 250 daerah itu merupakan bagian dari kontribusi NU untuk Indonesia dan untuk dunia lebih beradab. Rangkaian halaqah tersebut juga merupakan bagian dari peringatan satu abad NU menurut kalender Hijriah, yang puncak peringatannya digelar pada Februari 2023.

Sebanyak 250 halaqah yang digelar di pesantren-pesantren itu rencananya akan digelar di Jawa Timur (75 halaqah); Yogyakarta dan Jawa Tengah (75 halaqah); Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten (50 halaqah); dan di luar Pulau Jawa (50 halaqah).

"Lebih dari 12.500 kiai dan ibu nyai akan terlibat dalam Seri Halaqah Fikih Peradaban, yang bertujuan untuk memulai kembali diskusi dan perbincangan mengenai Fikih Siyasah, sebagai warisan intelektual yang tertuang dalam kitab-kitab klasik," jelasnya.

Baca juga: PBNU minta LPDP buka data penerima beasiswa di luar negeri

Menurut dia, salah satu kekuatan komunitas ilmiah di lingkungan pesantren-pesantren Nahdliyin adalah adanya warisan intelektual dalam kitab-kitab klasik atau Kitab Kuning, yang memuat pikiran-pikiran ulama klasik Islam pada rentang abad ke-8 hingga awal abad ke-20.

"Tentu saja, buah pikiran ulama ini menggambarkan situasi pada zamannya, terutama situasi pra-negara nasional. Warisan-warisan pemikiran ini tergambar, antara lain, dalam literatur "Fikih Siyasah", yaitu fikih yang berkenaan dengan masalah kenegaraan," katanya.

Fikih siyasah juga sangat dipengaruhi oleh konteks politik negara khilafah, dimana ciri yang paling menonjol adalah tentang konsep kewargaan berbasis agama dan tidak adanya batas-batas wilayah secara jelas.

Dalam konteks politik seperti itu, lanjutnya, setiap imperium, yaitu negara yang melintasi batas-batas nasional dan meliputi tanah luas dan etnisitas beragam, berusaha untuk memperluas wilayah setiap saat.

"Inilah yang menjelaskan kenapa setiap negara harus menjaga perbatasan mereka setiap saat. Di batas inilah jihad harus dilakukan setiap saat untuk mencegah invasi, baik dari negara imperium lain maupun dari pasukan non-negara yang terdiri dari kekuatan suku-suku," katanya.

Sementara itu, dia juga mengatakan saat ini bangsa hidup dalam konteks peradaban baru, yaitu peradaban negara-negara bangsa.

"Karena itu, sudah saatnya, percakapan dimulai kembali di kalangan para kiai, intelektual, sarjana, dan aktivis Nahdliyin untuk membaca kembali warisan Fikih Siyasah kita yang amat berharga itu dalam terang konteks baru tersebut," ujarnya.

Baca juga: PBNU tunjuk Gus Gudfan sebagai Plt Bendum gantikan Mardani Maming
Baca juga: Wasekjen PBNU: Penegak hukum jangan ragu selidiki aliran donasi ACT


Pewarta: Hery Sidik
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022