Badak jawa merupakan hewan yang sangat sulit untuk dijumpai. Selain hidup di kedalaman hutan, juga jumlahnya yang sedikit
Jakarta (ANTARA) - Bertemu badak jawa (Rhinocheros Sondaicus ) saat berpatroli di areal Cibunar menjadi pengalaman tidak ternilai bagi Agus Syamsudin, karena tidak semua orang termasuk para petugas Monitoring Badak Jawa (MBJ) Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) di Provinsi Banten, bisa merasakan sensasi yang sama.

Kala itu pada November 2017, Agus beserta satu rekannya tengah melaksanakan patroli rutin. Di tengah jalan, ia menemukan badak jawa jantan yang sedang makan. Pertemuan itu menjadi yang pertama bagi Agus setelah lima tahun keluar masuk hutan lebih sering menemukan jejak serta kotorannya saja ketimbang melihat rupa asli sang tokoh.

Dengan hati bercampur aduk antara bahagia dan rasa takut, ia langsung mengambil telepon genggan di saku celananya dan merekam aktivitas sang badak. Agus mengira badak tidak akan mengejarnya, ia pun mencoba mendekat secara perlahan. Tetapi tanpa aba-aba, badak langsung mengejarnya.

Beruntung bagi Agus, pohon beringin menyelamatkan hidupnya. Jarak antara dia dengan badak yang merasa terancam itu kurang dari satu meter, dan hanya dibatasi oleh batang pohon yang memisahkan mereka. Agus pun selamat dari jangkauan serudukan badak jawa hingga akhirnya hewan tersebut lari ke dalam hutan.

"Kalau kena cula atau diseruduk, saya pasti kritis, bisa mati. Tapi saya mendapat kenang-kenangan berupa benjolan di kepala akibat ludahan badak. Bikin pusing dan sakit ternyata ludahan badak itu," kata Agus yang kebetulan berjumpa di Resort Karang Ranjang, TNUK.

Benjolan di kening Agus lama-lama semakin membesar. Harusnya ia dioperasi, namun bagi Agus benjolan itu adalah oleh-oleh dari badak yang tak akan pernah dia obati.
 
Petugas saat monitoring rutin di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. (ANTARAFOTO/Muhammad Adimaja)


Pengalaman berbeda dirasakan Sasmita. Pria asal Desa Ujungjaya ini menceritakan keterikatannya dengan badak jawa telah terjalin selama 20 tahun lamanya.

Sebelum mengabdikan diri sebagai petugas lepas di TNUK, Mita merupakan pemburu sarang burung walet dan madu untuk dijual ke wilayah Jakarta dan sekitarnya. Menjadi seorang pemburu sarang walet dan madu membuat dia memiliki kemampuan untuk memetakan lokasi taman nasional, termasuk menghindari jalur badak jawa.

"Karena dulu kita tak punya penghasilan apapun. Mata pencaharian di Ujung Kulon selain bertani, ke laut (nelayan), atau ke hutan," kata Mita yang khas dengan kumis tebalnya.

Kemahirannya dalam memetakan jalur TNUK membawanya direkrut World Wildlife Fund (WWF) Indonesia. Bersama WWF, Mita ditugaskan sebagai pemasang kamera jebak (camera trap) dan kemampuannya terus terasah setelah peneliti mengajarkan cara penghitungan usia badak melalui pengukuran jejak kaki.

Bakatnya tercium oleh Balai TNUK, sehingga Mita sepenuhnya mengabdikan diri dalam upaya konservasi badak jawa. Sebelum bergabung bersama WWF dan TNUK, ia tak pernah bertemu secara langsung dengan satwa tersebut meski bolak-balik masuk hutan. Yang dia tahu hanya ada kubangan tempat badak berendam, jejak kaki, serta kotoran badak.

Perjumpaan pertamanya ketika ia mendampingi peneliti saat tengah memasang kamera jebak. Saat memasang kamera jebak, ia tidak mengetahui ada badak yang tengah mengintip di balik tutupan hutan.

Dengusan badak dari arah belakang, membuatnya terkejut dan langsung bersembunyi di balik pohon, karena serudukan kecil badak dapat membuat kulit manusia robek.

Kendati demikian, pengalamannya bertemu badak tak membuat mental Mita menciut. Justru ia merasa keterikatan dengan hewan bernama latin Rhinocheros Sondaicus itu semakin menguat.

Mita kini dipercaya sebagai koordinator pemasang kamera jebak beserta 30 orang warga Desa Ujungjaya lainnya. Menariknya, ke-30 orang ini dulunya adalah warga yang kerap memasuki hutan konservasi secara ilegal.

Pelibatan Masyarakat

Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Handeuleum TNUK, Ujang Acep menyebut keterlibatan masyarakat dalam upaya konservasi adalah ujung tombak penyelamatan badak jawa dari ancaman kepunahan.

Acep menyadari bahwa tanpa keterlibatan masyarakat, upaya penyelamatan badak jawa adalah omong kosong. Keterlibatan sekitar dapat meminimalisir ancaman sekaligus meningkatkan keamanan.

Pelibatan masyarakat sudah berlangsung lebih dari dua dekade terakhir. Mereka yang direkrut adalah yang biasa hilir mudik ke kawasan hutan. Pengalaman mereka sangat dibutuhkan dalam membantu Balai TNUK mencari jejak, kubangan, pemasangan kamera trap, hingga kebutuhan konservasi lainnya.

Terdapat lebih dari 30 orang warga lokal yang kini menjadi bagian dari tim Monitoring Badak Jawa (MBJ) Balai TNUK. Mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai kemampuannya. Ada yang bertugas sebagai anggota patroli, pemasang kamera trap, penyemaian pakan badak dan pengandalian langkap, hingga unit yang memonitor kesehatan badak.

Setiap 15 hari dalam setiap bulannya, mereka bergantian masuk ke zona inti. Jika tidak ada agenda di dalam hutan, masyarakat diperbolehkan melakukan aktivitas lain seperti bertani dan menjadi porter bagi peneliti maupun para peziarah yang akan ke wilayah Sanghiyang Sirah.
Foto udara para porter yang berjalan menyusuri pantai di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Kendati memiliki anggota yang cukup banyak, Balai TNUK juga kerap mengalami kendala. Karena mayoritas adalah petani, maka saat masuk musim-musim panen tidak ada masyarakat yang mau masuk ke hutan. Aktivitas identifikasi dan evaluasi kamera jebak pun harus dihentikan hingga panen selesai.

"Saat panen semuanya menolak masuk hutan meski dibayar lebih tinggi. Ini menjadi kendala sekaligus keunikan tersendiri bagi saya," kata Ujang Acep dengan logat Sundanya yang kental.

Legenda

Badak jawa merupakan hewan yang sangat sulit untuk dijumpai. Selain hidup di kedalaman hutan, juga jumlahnya yang sedikit. Bahkan sebagian masyarakat di Desa Tamanjaya serta Ujungjaya yang berbatasan dengan TNUK menganggap badak jawa adalah legenda.

Tak ada yang benar-benar bisa melihat langsung fisik sang Unicorn tersebut. Mereka hanya mengetahui rupa badak jawa dari tayangan televisi maupun dari cerita mulut ke mulut. Tapi bagi mereka, badak layaknya pemberi kehidupan.

"Badak jawa bagi masyarakat Tamanjaya bukan hanya sebatas satwa. Kami mendapat penghidupan, karena bisa melaut, mengembangkan pariwisata. Intinya badak telah memberi kami rezeki," kata Sekretaris Desa Tamanjaya, Samsuri.

Samsuri membayangkan apabila badak jawa punah, tak ada lagi kebanggaan yang bisa diceritakan kepada anak-cucu mereka kelak.

Bagi masyarakat Ujung Kulon, badak jawa merupakan satwa kebanggaan yang perlu diselamatkan. Di tengah upaya penyelamatan itu, tidak jarang mereka mempertaruhkan nyawa demi melindungi sang tokoh dari kepunahan.

Kisah Agus maupun Mita di atas adalah secuil dari keterlibatan mereka untuk bergaul dengan badak jawa. Dalam membantu upaya konservasi mereka harus menerabas hutan berpuluh-puluh kilometer jauhnya hingga menginap berhari-hari.

Bagi mereka, badak bukan hanya hewan langka, tapi telah memberikan nafas kehidupan. Karena pertemuan secara fisik, sejatinya adalah intisari tentang cinta.

Baca juga: Populasi badak jawa dan elang jawa bertambah

Baca juga: Guling-guling di kubangan dan status konservasi badak jawa

Baca juga: Semarakkan HKAN, dua anak Badak Jawa lahir di TN Ujung Kulon

Baca juga: Jumlah tak lebih 100, penyelamatan badak sumatera libatkan masyarakat


 

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022