Surabaya, (ANTARA News) - Penerapan sanksi hukum yang ringan terhadap pelaku pencemaran lingkungan selama ini, telah merangsang banyak industri di Jawa Timur menjadi "residivis" dan tidak jera melakukan tindak pencemaran berulang-ulang. Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON) Daru Setyo Rini Msi, Dipl ME di Surabaya, Selasa (28/3) menjelaskan ringannya sanksi dan hukuman pelaku pencemar lingkungan tersebut dibuktikan dari penanganan kasus yang terjadi sepanjang tahun 2002 hingga 2004 lalu. "Data yang kami miliki, dari 23 kasus lingkungan yang terjadi sepanjang tahun 2002 hingga 2004, hanya 14 kasus yang diputus di pengadilan dan putusannya hanya denda Rp500.000 hingga Rp2,5 Juta," katanya. Dengan sanksi dan hukuman yang sangat ringan tersebut, tidak salah kiranya banyak industri yang kemudian berulang-ulang melakukan pencemaran lingkungan. Daru mencontohkan salah satu perusahaan yang menjadi residivis lingkungan yakni PT Surabaya Agung Kertas (SAK). Pada tahun 1999 kasus pencemaran lingkungan perusahaan ini di SP3 (dihentikan), kemudian tahun 2002 manager produksi PT SAK dihukum kurungan dua minggu dan denda Rp5 juta dan tahun 2005 perusahaan ini kembali disidik Polda Jatim atas dugaan kasus yang sama. "Padahal, kasus dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan PT SAK pada tahun 1994 hingga kini belum tuntas di PN Surabaya," tambah Daru. Menteri Negara Lingkungan Hidup Dr Rachmat Witoelar beberapa waktu lalu menyebutkan sebanyak 72 industri di Jatim telah melakukan tindakan pencemaran terhadap Kali Surabaya yang merupakan sumber utama bahan baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), belum diproses secara hukum. "Kami tidak terlalu kaget dengan pernyataan menteri lingkungan, karena memang penegakan hukum lingkungan di Jatim selama ini jalan ditempat," katanya. Selain rendahnya sanksi hukum, faktor lain yang membuat industri masih melakukan pencemaran lingkungan diantaranya lemahnya pengawasan dan monitoring Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jatim, tidak adanya koordinasi pemberian ijin pembuangan limbah, dan adanya kongkalikong antara aparat dengan industri. Terkait soal pembuangan limbah, Daru Setyo Rini mencontohkan dari 1.563 industri yang ada Surabaya, hanya 87 yang memiliki IPAL. "Padahal IPAL itu instrumen penting dalam mengurangi beban pencemaran yang ditimbulkan aktivitas industri," katanya. Sebagian industri yang memiliki IPAL juga tidak menjamin terwujudnya kualitas lingkungan hidup yang baik, karena mereka tidak mengoperasionalkan IPAL tersebut. Direktur ECOTON Prigi Arisandi yang dihubungi terpisah menyatakan sangat pesimistis kondisi lingkungan hidup di Jatim akan membaik, selama proses penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran tidak jalan. "Yang terjadi di Jatim selama ini memang begitu. Pelaku pencemaran hanya diberi sanksi ringan sehingga jangan harap mereka (industri) jera," tegasnya.(*)

Copyright © ANTARA 2006