Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) memberikan delapan rekomendasi untuk menanggulangi kegiatan pertambangan ilegal atau Pertambangan Tanpa Izin (Peti) di tanah air yang dinilai semakin masif.

"Pertama, pemerintah perlu melakukan penegakan aturan untuk semua bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh kegiatan Peti tersebut, terutama menyasar cukong dan pemodal dan beking yang banyak mengambil keuntungan dari bisnis gelap ini, termasuk penghindaran terhadap pajak dan retribusi lainnya," kata Ketua Umum Perhapi Rizal Kasli dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

Kedua, perlu dibentuk satuan tugas khusus khusus untuk pemberantasan Peti yang bertanggung jawab langsung ke Presiden/Wapres. Ketiga, perlu dibentuk direktorat khusus penegakan hukum di Kementerian ESDM yang menangani pelanggaran energi dan minerba.

Keempat, perlu dilakukan upaya pencegahan aktivitas Peti dengan edukasi masyarakat terkait dampak negatifnya dengan melibatkan pemangku kepentingan. Kelima, untuk Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR), karena karakternya yang khusus sebaiknya diberi nama pertambangan skala kecil dan pengaturannya disesuaikan dengan karakteristik tersebut.

Baca juga: Penertiban aktivitas pertambangan tanpa izin diminta harus tuntas

Keenam, bantuan teknik kepada pertambangan rakyat skala kecil, misalnya untuk penambangan emas tanpa merkuri dan teknik penambangan yang lebih efisien. Ketujuh, menyediakan akses finansial bagi pertambangan rakyat skala kecil, misalnya dengan membuka cabang perkreditan di dekat lokasi pertambangan rakyat.

Kedelapan, menyediakan akses untuk peralatan dan bahan yang dibutuhkan dalam operasi pertambangan rakyat skala kecil, serta menyediakan akses resmi pasar produk pertambangan rakyat.

Menurut Rizal, harus dibedakan kegiatan Peti dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Kegiatan Peti umumnya dilakukan oleh masyarakat dengan peralatan yang sederhana, tidak berizin, tidak berwawasan lingkungan dan keselamatan, serta melibatkan pemodal dan pedagang. Pada kasus tertentu, terdapat juga pertambangan ilegal yang dilakukan perusahaan dan koperasi.

“Sedangkan IPR adalah kegiatan penambangan berizin/legal yang dilakukan masyarakat dengan peralatan sederhana dan dilakukan dalam sebuah Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai dengan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020,” ujar Rizal pada webinar, Senin (22/8/2022).

Ia menegaskan kegiatan Peti menimbulkan tumbuhnya perdagangan produk pertambangan di pasar gelap yang dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap penghindaran pajak penjualan bahan tambang. Kegiatan Peti juga berpotensi besar merusak lingkungan yang dampak negatif tidak saja merugikan pemerintah, tapi juga masyarakat luas dan generasi mendatang.

Baca juga: Pakar: Tambang ilegal akibat minim pengawasan dan kendala perizinan

“Maraknya PETI karena enam hal yaitu komoditas tambang yang mudah ditambang, mudah diolah, mudah dijual, pasarnya terbuka sekali, harga komoditas yang tinggi dan sangat menguntungkan,cadangan berlimpah dan dekat permukaan, serta pengawasan, penindakan dan penegakan hukum rendah,” ujarnya.

Sementara itu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai menggodok pembentukan unit khusus penegakan hukum yang nantinya akan menyisir berbagai kegiatan pelanggaran hukum yang merugikan negara di sektor ESDM. Unit ini direncanakan setingkat  eselon I.

Sekjen Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan pengawasan atas pengelolaan sumber daya energi dan mineral dalam bentuk pengamanan dan penegakan hukum di saat ini dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dinilai belum cukup. Karena itu, dimungkinkan untuk membentuk unit baru, yang khusus menangani penegakan hukum dalam kegiatan pertambangan.

“Pembentukan struktur baru yang menangani penegakan hukum sektor EDSM ini dipandang perlu semata-mata untuk kepentingan negara, antara lain untuk penerimaan negara bukan pajak yang lebih baik,” ungkap Rida di Jakarta, Selasa (23/8/2022).

Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah aktif susun strategi cegah tambang ilegal

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022