Kuala Lumpur (ANTARA) - Pandemi COVID-19 telah memperlambat perjuangan melawan kemiskinan di Asia dan Pasifik setidaknya selama dua tahun, sehingga banyak orang di kawasan ini mungkin akan merasa lebih sulit dari sebelumnya untuk keluar dari kemiskinan, demikian menurut laporan dari Asian Development Bank ( ADB).
Dalam laporan Indikator Utama untuk Asia dan Pasifik 2022 yang dirilis pada Rabu, ADB mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi kawasan tahun ini diharapkan dapat mengurangi kemiskinan ekstrem ke tingkat yang akan dicapai pada 2020 seandainya pandemi tidak terjadi.
Kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai hidup dengan biaya kurang dari 1,90 dolar AS (sekitar Rp28 ribu) per hari.
“Karena kurangnya data yang tersedia, sulit untuk memprediksi bagaimana pandemi COVID-19 dapat membentuk kembali mobilitas sosial. Namun, simulasi data menunjukkan bahwa orang-orang di wilayah dengan tingkat mobilitas sosial yang lebih rendah---kemampuan untuk keluar dari kemiskinan---mungkin mengalami kemunduran yang lebih lama,” demikian laporan ADB.
Laporan tersebut menyoroti bahwa krisis COVID-19 mengganggu tren panjang pengurangan kemiskinan di Asia dan Pasifik.
Meskipun ekonomi pulih, kemajuan tidak merata karena pandemi mungkin juga memperburuk bentuk kemiskinan di luar pendapatan, seperti kerawanan pangan dan akses yang tidak memadai ke layanan kesehatan dan pendidikan.
Di antara negara-negara berkembang Asia dengan data yang tersedia, laporan itu menyatakan sekitar 69 persen memiliki distribusi prospek ekonomi yang kurang merata daripada tingkat ketimpangan pendapatan sebelum pandemi COVID-19.
Hal ini menunjukkan bahwa bahkan sebelum pandemi, besarnya disparitas jangka panjang antara penduduk miskin dan tidak miskin lebih besar daripada tingkat ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan di banyak bagian wilayah.
Kepala ekonom ADB Albert Park mencatat bahwa orang miskin dan rentan telah terkena dampak paling parah akibat COVID-19, dan sementara ekonomi mulai pulih, banyak orang mungkin mendapati bahwa keluar dari kemiskinan bahkan lebih sulit daripada sebelumnya.
“Pemerintah di kawasan harus fokus pada ketahanan, inovasi, dan inklusivitas untuk memberikan peluang ekonomi yang lebih seimbang dan mobilitas sosial yang lebih besar bagi semua orang,” kata dia.
Pada 2030, laporan tersebut mengatakan bahwa prevalensi kemiskinan ekstrem di wilayah tersebut diperkirakan akan turun di bawah 1 persen dan pada saat yang sama, sekitar 25 persen dari populasi diproyeksikan mencapai setidaknya status kelas menengah, yang didefinisikan sebagai memiliki pendapatan atau konsumsi 15 dolar AS (sekitar Rp222 ribu) atau lebih per hari, disesuaikan dengan paritas daya beli.
“Namun, pandangan ini terancam oleh perbedaan mobilitas sosial serta ketidakpastian lainnya. Negara berkembang Asia menghadapi potensi stagflasi, konflik berkelanjutan yang melibatkan aktor global utama, peningkatan kerawanan pangan, dan guncangan harga energi,” kata laporan itu.
Disebutkan bahwa dengan asumsi bahwa masyarakat dengan tingkat mobilitas sosial yang lebih tinggi sebelum pandemi COVID-19 dapat lebih mudah kembali ke jalur pengurangan kemiskinan sebelumnya, pandemi mungkin memiliki konsekuensi jangka panjang yang belum diketahui.
“Misalnya, implikasi penuh dari kehilangan pembelajaran yang disebabkan oleh penutupan sekolah terhadap pendapatan seumur hidup di masa depan dan prospek mobilitas sosial mungkin tidak diketahui selama beberapa dekade,” kata ADB.
ADB berkomitmen untuk mewujudkan Asia dan Pasifik yang sejahtera, inklusif, dan berkelanjutan, sambil mempertahankan upayanya untuk memberantas kemiskinan ekstrem.
Didirikan pada tahun 1966, bank tersebut dimiliki oleh 68 anggota, yang 49 di antaranya dari wilayah Asia dan Pasifik.
Sumber: OANA/Bernama
Baca juga: 65 juta orang di Asia Tenggara berisiko jatuh miskin
Baca juga: ADB: COVID-19 jerumuskan 4,7 juta orang ke kemiskinan ekstrem
Baca juga: ADB: 122 juta orang terancam miskin akibat meluasnya perubahan iklim
Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2022