Jakarta (ANTARA News) - Menyikapi putusan sela Majelis Hakim yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum karena prematur dan tidak jelas, mantan guru SLTPN 56 Melawai, Nurlela yang sebelumnya didakwa mendirikan satuan pendidikan ilegal bagi murid-muridnya di bangunan bekas sekolah itu, meminta nama baiknya berikut hak dan martabatnya direhabilitasi. Hal itu dinyatakan Nurlela dan kuasa hukumnya, Lambok Gultom usai pembacaan sidang putusan sela yang menolak dakwaan jaksa dan mengabulkan eksepsinya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa. Ia menyayangkan, dalam putusan sela perkara yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Johannes Suhadi itu tidak dinyatakan perintah untuk merehabilitasi dan pemulihan nama baik Nurlaila. "Kami berencana mengajukan pra peradilan untuk pemulihan nama baik dan pencopotan Nurlela dari status guru pegawai negeri sipil," kata pria berkuncir itu. Menurut dia, kliennya yang sebelumnya didakwa menyelenggarakan satuan pendidikan ilegal, memalsukan dokumen dan merusak pagar serta memasuki suatu lahan tanpa izin dengan dakwaan pasal 62 (1) jo pasal 71 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sementara dakwaan subsider pasal 167 jo pasal 55 (1) ke 1 KUHPidana dan dakwaan ketiga pasal 263 KUHPidana yang ancaman pidananya 10 tahun penjara. Kasus Nurlela itu berawal dari persetujuan tukar guling atau ruislag antara Pemprov DKI dan PT Tata Disantara (milik pengusaha/mantan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief) yang ditandatangani pada 26 Desember 2000. Dalam nota kesepahaman (MoU) ruislag tersebut disepakati kegiatan dan siswa SLTPN 56 Melawai itu dipindahkan ke lokasi yang kurang lebih lima kilometer jaraknya dari lokasi asal. Sebanyak 98 persen civitas akademika SLTPN 56 antara lain guru dan orangtua murid menolak rencana itu dan mengajukan gugatan ke PN Jakarta Selatan yang menetapkan lahan sekolah itu berstatus quo hingga keluar putusan perkara perdata berkekuatan hukum tetap atas status lahan tersebut. Sejumlah guru (di antaranya Nurlela yang belakangan dipecat dari PNS) dan siswa-siswi SLTPN berkeras tetap menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di bangunan sekolah mereka dan beberapa kali terusir hingga harus belajar di trotoar jalan raya. Atas perbuatannya itu Nurlela dan mantan Ketua Komite Sekolah Jonni Rimon Elian diajukan ke depan meja hijau karena melangsungkan satuan pendidikan ilegal tanpa ijin dari Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006